Harapan tanpa iman
adalah kekecewaan yang menunggu waktu
Kebahagiaan tanpa Barakah
bagai bayang-bayang tanpa cahaya
Orang suci, menjaga kesuciannya dengan pernikahan
menjaga pernikahannya dengan kesucian
Menikah adalah keindahan, kecuali bagi yang menganggapnya sebagai beban. Rumah tangga adalah kemuliaan, kecuali bagi yang memandangnya sebagai rutinitas tak bermakna. Menikah, da’wah dan jihad adalah seiring sejalan, kecuali bagi orang-orang yang terkacaukan logika dan nalarnya. Menikah adalah bagian dari dua hal ini, kecuali bagi yang memandangnya sebagai buah yang dipetik atau rehat yang diambil setelah lama menjadi aktivis bujang.
Amat heran saya mendengar kata-kata yang dipakai sebagai alasan untuk menunda pernikahan. “Akhi..”, dengan penuh lembut seorang ikhwan pernah berkata, “Saya kira antum berbicara tentang pernikahan bukan dengan orang yang tepat. Saya ingin menikah, InsyaAllah nanti setelah mengoptimalkan produktivitas dakwah saya. Ada banyak hal yang belum saya lakukan. Kontribusi dakwah saya masih terlalu kecil.
Saya masih jauh dari kualifikasi pemuda yang digambarkan sebagai jundi da’wah. Apa kita nggak malu, bahwa yang kita bicarakan pernikahan, pernikahan dan pernikahan? Lihatlah pemuda-pemuda seperti Usamah ibn Zaid yang menjadi panglima besar di usia 18 tahun. Lihatlah Mush’ab ibn ‘Umair yang di usia duapuluhan menjadi duta untuk membuka da’wah di Madinah. Lihatlah Ali ibn Abi Thallib..”
Allaahu Akbar! Secara pribadi, saya terkagum pada ghirah da’wah beliau yang setegar gunung dan sekukuh karang. Semoga Allah menguatkannya selalu. Hanya saja, saya menganggap bahwa cara berfikir beliau ini berbahaya. Mungkin saya subyektif. Tetapi tersirat dalam kalimat beliau, seolah ada pertentangan antara produktivitas da’wah dengan pernikahan. Sepertinya, kalau sudah menikah maka kita tidak bisa meneladani Usamah, Mush’ab dan ‘Ali. Sepertinya sesudah menikah, tidak memungkinkan menjadi aktivis dengan kemuliaan sebagaimana ketika kita belum menikah. Seolah-olah, puncak prestasi dakwah selalu kita raih sebelum kita menikah.
Dalam pengamatan saya, cara berfikir ini bermula dari persepsi bahwa menikah dengan seorang akhwat yang sholihah adalah buah dari dakwah. Pernikahan di persepsikan sebagai salah satu terminal perhentian, tempat memetik manfaat. Pernikahan tidak dianggap sebagai bagian dari da’wah. Pernikahan tidak dianggap sebagai episode tempat dua orang saling menguatkan untuk lebih berkontribusi dan berprestasi dalam da’wah. Seakan pernikahan adalah episode baru yang -kasarnya -menjadi tujuan dari da’wahnya selama ini. Sekali berarti itu mati, kata Chairil Anwar.
Syukurlah, argumen yang beliau bangun sekaligus menolak cara berfikir beliau. Kok bisa?Iya. Beliau, -afwan , saya jadi sok tahu-kurang lengkap mengutip sirah sahabat. Sefaham kita, sebelum menjadi panglima di usia 18 tahun, Usamah ibn ZAId telah menikah dengan Fatimah binti Qais di usia 16 tahun. Sebelum menjadi duta ke Madinah, Mush’ab ibn ‘Umair Al Khair telah menikah dengan Hammah binti Jahsy. Dan sebelum mengambil peran-peran besar di sisi Rasulullah, ‘Ali ibn Abi Thalib Radhiyallaahu ‘Anhu telah menjadi menantu beliau. Mereka telah berjibaku memimpin keluarga, sebelum sukses memimpin da’wah.
Nah, mari kita bersedih ketika pernikahan memutus keterlibatan saudara-saudara kita dari da’wah. Mari kita bersedih ketika pernikahan menumpulkan. Mari menitikkan air mata jika dengan menikah orang terhalang menjadi Usamah, Mush’ab dan ‘Ali. Mari kita menangis di hadapan Allah jika pernikahan telah melenakan manusia dari tugas agung untuk berda’wah dan berjihad di jalanNya. Jika demikian, dimanakah barakah yang sudah seharusnya kita raih?
‘Ala kulli haal, segalanya bermula dari bagaimana cara kita mempersepsi pernikahan. Pernikahan disebut sebagai separuh agama, karena ianya adalah masalah ‘aqidah. Masalah bagaimana kita berpersepsi terhadap Allah, diri kita, dan pernikahan itu sendiri. Dan pernikahan di sebut separuh agama, karena tanpa isteri disisi, banyak perintah Allah di dalam Al-Qur’an belum akan terasa maknanya.
Misalnya, di dalam rangkaian perintah berpuasa, ada ayat ke-187 Surat Al-Baqarah yang berbunyi , “Uhilla lakum lailatash shiyaamir rafaatsu ilaa nisaaikum… ” yang berarti, “Di halalkan bagi kalian di malam-malam puasa untuk rafats kepada isteri-isteri kalian..”
Nah, kalau belum menikah, kita belum bisa merasakan keagungan ayat ini. Dan itu artinya, pengamalan kita terhadap ayat-ayat tentang puasa masih belum utuh. Belum sempurna. Maklum, kita belum meraih separuh agama.
Semoga pemahaman ini menjadi awal dari bertambahnya barakah dalam pernikahan kita, terutama dalam sisi produktivitas amal dan jihad di jalan Nya. Sungguh pernikahan adalah bagian dari dua hal ini, maka jangan pernah memandangnya sebagai buah yang akan kita petik dan rehat yang akan kita lakukan atas da’wah kita selama ini. Rehatlah nanti ketika kaki kita melangkah dan memijak ke surga Allah.
Sumber: Saksikanlah bahwa aku seorang muslim – Salim A Fillah
0 Response to "Bukan Terminal Perhentian"
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"