“Aku seorang seniman,“ lelaki berambut gondrong itu
berkata padaku. “Tapi tidak sepertimu,
aku
|
cuma seniman pinggiran,“ tambahnya lagi seraya
menyebut namanya: Iwan, tinggal di Tanjung
|
Priok.
|
Waktu itu, Desember 2000, hari senja di Taman Ismail
Marzuki. Aku baru saja berkenalan
dengan
|
Iwan dan Ratri – adik perempuannya – di toko buku Joze
Rizal Manua.
|
“Aku tidak percaya partai, Mbak,“ tiba-tiba Ratri
berkata, pada pertemuan kami yang berikut, dua
|
minggu kemudian, di tempat yang sama. “Apalagi pada tokoh2nya. Muak sekali melihat mereka,”
|
tambahnya sinis.
|
“Ya, aku juga.
|
Nggak
|
ada yang benar.
Partai yang besar kubenci, yang kecil bikin aku geli. Lihat
|
deh!
Partai-partai gurem itu, kan,
|
nggak
|
jelas. Ada juga
yang membawa agama untuk kepentingan
|
partai, sekadar memanipulasi ayat Tuhan!“ Nada suara Iwan agak geram.
|
“Ya, tapi tak semua,” bantahku.
|
Sayang percakapan kami terhenti karena tiba-tiba hujan
turun begitu deras.
|
Kami berpisah dua tahun lalu di TIM tanpa pernah
bertukar alamat dan tak pernah bertemu lagi
|
setelah itu.
Sampai, akhir November 2002, seseorg menyapaku di tempat yang sama:
TIM.
|
“Assalamu‘alaykum, Mbak! Masih ingat saya? Saya Iwan, seniman pinggiran itu. Saya sudah
|
potong rambut.
Apa Mbak masih mengenali saya?”
|
Sesaat aku mengernyitkan dahi. Sosok di depanku sangat rapi dan
sopan. Tapi ia memang Iwan.
|
Dan topi yang di pakainya? Aku kembali mengerutkan dahi. Iwan memakai topi berlambang Partai
|
Keadilan?
|
Ia membuka topinya dan tersipu. “Sekarang saya jadi aktivis PK Mbak. Masih kecil-kecilan“:
|
Aku tersenyum.
Bagaimana bisa?
|
Segera kuajak Rita – teman yang sejak tadi bersamaku –
dan Iwan makan siang bersama.
|
“Tahun lalu, banjir besar melanda Tanjung Priok. Teman-teman dari partai itu yang pertama
datang
|
ke lokasi.
Mereka membantu kami bukan hanya pada hari itu, tapi berbulan-bulan
kemudian masih
|
memantau keadaan kami.
Mereka melakukan semua tanpa pamrih, tanpa mengajak kami masuk
|
partai mereka.
Mereka juga membuka pos-pos pelayanan masyarakat secara gratis”. Kata-kata
|
Iwan meluncur begitu cepat.
|
“Lalu?“
|
“Saya mulai ingin tahu tentang PK. Mereka memang unik. Saya berkali-kali mengadakan
|
demonstrasi dengan kelompok saya. Jumlahnya cuma seratusan, tapi pasti
ricuh. Sementara saya
|
lihat setiap teman Partai Keadilan turun melakukan
aksi di jalan, sampai ribuan orang, tak sedikit
|
pun ada keributan.
Kelihatannya kok tenang, kok asyik”.
Iwan menghirupnya air jeruknya.
|
Aku dan Rita berpandangan. Nyengir.
|
“Saya bertemu DR. Hidayat Nurwahid awal tahun
ini. Wah dia memeluk saya. Padahal saya bukan
|
apa-apa. Waktu
itu, saya mengikuti ceramahnya di Al – Azhar.
Saya salami dia. Eh, dia
menjabat
|
erat tangan saya, malah memeluk saya”, kenang Iwan
haru. “waktu itu, Hidayat Nurwahid
berkata
|
pada banyak orang, termasuk saya:’Bahkan seandainya
Anda tidak masuk ke Partai Keadilan
|
sekalipun, tapi anda mendukung, menegakkan dan
melaksanakan keadilan, yang itu berarti Anda
|
mengamalkan Islam, maka Anda sesungguhnya sudah
menjadi bagian dari kami’. Saya
terharu
|
sekali , Mbak!”
|
Lagi-lagi aku dan Rita saling berpandangan. Itu perkataan yang memang sering
diucapkankan
|
Presiden PK: DR. Hidayat Nurwahid.
|
Iwan masih ingin terus bercerita. Angin kencang Kafe Musi di area terbuka TIM
tempat kami
|
duduk,
menyentuh dan menggeser lembaran-lembaran Majalah Tempo edisi terbaru,
November
|
2002, yang ada di pangkuanku. Tak sengaja, ekor mataku membaca tulisan
itu sekali lagi:
|
“Indonesia Belum Menyerah!”
|
Dalam edisi tersebut terdapat “Figur Pahlawan Pilihan
Pembaca”, sebuah polling yang melibatkan
|
ratusan pembaca Tempo.
Sholahudin Wahid, Hidayat Nurwahid, Abdullah Gymnastiar, Kwik Kian
|
Gie, Susilo B. Yudhoyono, Sri Sultan Hamengkubuwono
dan Iwan Fals, adalah tujuh nama yang
|
menjadi pilihan pembaca secara berurutan.
|
Iwan masih terus bercerita. Angin meliukkan jilbab putihku
sesekali. Tiba-tiba aku teringat wajah
|
teman-temanku yang tak henti memikirkan masalah umat
itu....
|
Ah Indonesia tak akan menyerah, Wan! Tak akan pernah!
|
Helvy Tiana Rosa
|
(Bukan di Negeri Dongeng)
|
0 Response to "INDONESIA BELUM MENYERAH!"
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"