Cinta Di Rumah Hasan Al Banna (Bagian 3)


Hasan al-Banna
Kepercayaan yang Sangat Besar
        Tsana mengatakan : “Kepercayaan ibu kepada ayah besar sekali. Para akhwat datang dan duduk bersama ayah terkadang mendiskusikan banyak masalah dakwah tentu saja secara terbuka. Tapi ibu tidak pernah merasakan kesempitan dengan hal itu dan tidak bertanya apa yang dilakukan para akhwat itu, sebagaimana dilakukan oleh umumnya istri. Kepercayaan kepada ayah sangat besar dan sulit digambarkan. Sampai ketika rumah kami termasuk ke dalam peta rumah yang akan dihancurkan ibuku meminta ayah untuk membelikan rumah kecil untuk kami. Tapi ketika itu ayah mengatakan dengan keimanan mendalam: “Wahai Ummu Wafa, istana kita menanti di surga. Allah takkan meyia-nyiakan kita di dunia.” Perkataan itu meresap dalam hati ibuku dengan penuh cinta dan sikap lapang. Ibu tidak marah dan tidak kecewa seperti banyak dilakukan para istri saat ini. Selalu saja ayah memanggil ibu dengan ungkapan, wahai Ummu Wafa. Dan ibu memanggil ayah dengan panggilan, wahai Ustadz Hasan. Itu karena adanya rasa saling menghormati di antara mereka.

Praktik Tarbiyah Hasan Al Banna kepada anak-anaknya
        Adanya visi yang benar dan kemampuan aplikasi sikap yang baik, adalah syarat utama dalam pentarbiyahan keluarga. Bila seseorang tidak memiliki visi dalam hidupnya, ia seperti seorang buta yang tidak memiliki petunjuk. Atau, seperti musafir di tengah padang pasir tanpa memegang peta dan alat petunjuk apapun. Bila seseorang tidak mampu mengejahwantahkan perilaku yang baik, maka visi yang dimilikinya hanya bermakna ilmu teoritik belaka atau filosofi yang jauh dari kenyataan lahir. Dan kedua kondisi itu sama tidak bermanfaatnya.
        Ketika kita mempelajari perilaku Hasan Al Banna di dalam rumahnya, kita akan mendapatkan dia sebagai sosok yang mampu menjadi contoh dalam segalanya. Ia memiliki visi yang jelas dan mulia, sehingga itu juga yang menjadikannya secara sadar menjalani berbagai aktivitas hidupnya. Mari kita masuki rumah Imam Hasan Al Banna rahimahullah untuk melihat, bagaimana ia mendidik anak-anak dan istrinya.

1.     Makan Bersama, yang Menjadi Prioritas
Siapakah di antara para juru dakwah yang merasa tidak punya lagi waktu untuk sekedar makan bersama anak-anak di rumah? Imam Hasan Al Banna rahimahullah, mempunyai catatan kehidupan dakwah yang begitu memukau. Hasan Al Banna, dalam buku sejarah dakwahnya, dituliskan telah berhasil membentuk fondasi sebuah gerakan dakwah bernama Al Ikhwan Al Muslimun hanya setelah ia tinggal 6 bulan di Ismailiyah, salah satu distrik kota Kairo Mesir. Lalu dalam rentang waktu selanjutnya, selama 15 tahun, Al Banna terus melebarkan sayap dakwahnya dengan membentuk sayap Al Ikhwan di 20 negara. Di kota Kairo sendiri, ia mendirikan fondasi pembentukan 2000 cabang Al Ikhwan. Tapi, ternyata beliau masih mampu menyempatkan waktu untuk makan bersama anak-anaknya di rumah. Suasana makan bersama itulah di antara detik-detik penuh kenangan bagi anak-anaknya.
Tsana puteri Al Banna bercerita : “Beliau sangat mengerti apa yang dikatakan Rasulullah, “Sesungguhnya badanmu mempunyai hak, keluargamu juga punya hak...” Misalnya saja, ayah biasa tidur hanya empat jam saja dalam satu hari. Karena itu, salah satu dari sepuluh wasiat ayah adalah bahwa sebenarnya pekerjaan yang harus dilakukan lebih banyak dari waktu yang tersedia. Ini sama dengan apa yang dirasakan para mujahid umumnya. Sedangkan sekarang, kami tahu bagaimana menyia-nyiakan waktu dan mencari alasan untuk membuang waktu. Engkau lihat ayah selalu berusaha untuk bersama-sama makan dengan keluarga, bahkan meskipun ketika ada tamu, ia tetap berusaha meminta mereka datang ke rumah agar ketika waktu makan pagi ayah bisa bersama kami.”
   
2.     Tak Ada Suara Keras di Rumah Kami
        Sikap pertama seorang ayah yang sukses adalah bila ia mempunyai peta perhatian yang menyeluruh terhadap anak-anaknya. Sekaligus itu pulalah yang saat ini hilang dari banyak para ayah. Bahkan tak sedikit para da’i yang kurang memiliki perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya dengan dalih kesibukan dan perhatiannya sepanjang hari di luar rumah untuk berdakwah. Lalu ketika pulang, ia hanya mendapati anaknya sudah terlelap tidur. Mereka sedikit sekali memberi bekal yang cukup dan bermanfaat untuk anak-anaknya. Tapi, itu tidak terjadi pada Imam Hasan Al Banna yang mengkonsentrasikan pikirannya untuk membangun ummat. Rumah beliau dan anak-anaknya tetap memiliki porsi perhatian yang besar, diiringi keseriusan dalam bentuk pengaturan dan pentarbiyahannya.
        Tsana bercerita, “Kami tidak pernah merasakan adanya beban kegiatan yang dirasakan ayah selama di rumah. Misalnya saja, kami tidak melihatnya seperti banyak orang yang kerap berteriak atau bersuara keras di dalam rumah, dan semacamnya sebagai akibat dari tekanan mental dan fisiknya setelah banyak beraktivitas di luar rumah. Bahkan yang paling penting dalam kehidupan ayah adalah soal pengaturan keluarga.
        Jika Anda baca bagaimana peri kehidupan ayah, engkau akan lihat bahwa semuanya berjalan sesuai apa yang dicontohkan Rasulullah SAW.

3.     Bangunkan Aku Tujuh Menit Lagi.........
Kesibukan dakwah yang dilakukan Al Banna, jelas membawa efek yang lazimnya menjadikan waktu bertemu dengan keluarga tersita, Tapi, Hasan Al Banna ternyata mampu menyiasati kesibukannya itu untuk tetap menemani anak-anaknya di saat mereka melewati masa liburan.
Sampai-sampai dalam masalah perjalanannya, ayah mengaturnya juga. Misalnya, di musim panas, ayah mengatur perjalanan ke arah Utara dan di waktu musim dingin ke arah Selatan. Itu dilakukan agar ayah bisa memanfaatkan waktu libur di musim panas untuk pergi dan melewati kampung demi kampung,” ujar Wafa.
Wafa melanjutkan, “Ayah lebih suka pergi ke arah Selatan di musim dingin karena ia bisa pergi ke daerah itu dan pulang kembali dalam hari itu juga. Ayah pergi waktu pagi untuk bekerja dan pulang ke rumah untuk makan siang bersama kami. Terkadang beliau istirahat sejenak di rumah.”
Sampai suatu ketika Wafa bercerita pada kami bila ayah pernah memintanya untuk dibangunkan setelah tidur selama tujuh menit. Wafa mengatakan. “Aku lalu menyiapkan minuman untuknya. Tapi ketika selesai membuat minuman, aku sudah melihat ayah di sampingnya dan bertanya, “Sedang membuat minum ya Wafa?” Ayah sangat mampu mengatur dirinya dan selalu disiplin terhadap dirinya sendiri. Setelah itu ia pergi sendiri ke salah satu distrik Selatan lalu kembali waktu sore harinya.”
Ahmad Saiful Islam pernah ditanya; ”Kami mengenal Hasan Al Banna selalu sibuk dalam perjalanan ke berbagai daerah untuk menyebarkan dakwah ke seluruh pelosok. Apakah beliau juga duduk bersama kalian dalam waktu yang cukup menurut Anda?” Saiful Islam menjawab, “Ayah-semoga Allah merahmatinya- adalah manusia yang mendapat taufiq Allah dalam hal ini. Beliau menggantikan waktu yang ia khususkan untuk kami dengan waktu lain bila beliau harus pergi. Tapi dalam hal ini, ayah mempunyai keistimewaan. Anda bisa saja hanya duduk bersamanya selama dua jam, dan ternyata itu sudah memuaskan Anda.”
  
4.     Mau Tahu Tentang Masa Kecilku?
Anak adalah investasi besar untuk dakwah dan tentu saja untuk kemanusiaan keseluruhan. Karena itulah Hasan Al Banna melakukan perencanaan yang baik untuk semua anak-anaknya. Dia selalu menjaga proses pelaksanaan rencana itu dalam sebuah map yang berisi seluruh masalah anak yang penting diperhatikan, seperti masalah kesehatan dan masalah kemajuan atau kemunduran penguasaan pelajaran sekolah.
Di antara poin yang diingat Saiful Islam, map itu berisi antara lain:
1.     Tanggal dan sejarah kelahiran
2.     Nomor kelahiran
3.     Schedule pemberian obat dan makanan
4.     Surat keterangan dokter
5.     Keterangan atau catatan tentang kondisi sakit secara detail
6.     Ijazah anak-anak
7.     Catatan seputar prestasi anak-anak di sekolah
8.     Dan lain-lain

Setiap anak-anak Al Banna, disediakan catatan masing-masing. Di dalam map itu Imam Al Banna menuliskan sendiri keterangan detail tentang sejarah dan tanggal kelahiran, nomor kelahiran, pola pengaturan makanan bagi si kecil dan seterusnya. Al Banna juga mengumpulkan seluruh surat keterangan atau resep dokter yang memeriksa anak-anaknya. Jika mereka terkena penyakit yang sama, biasanya Al Banna mengajukan kepada dokter yang mengobatinya, rincian resep yang telah diberikan lengkap dengan tanggal pemberiannya. Setiap surat resep itu juga disertai catatan kecil tentang kondisi anak. Isinya keterangan tentang berapa lama si anak mengkonsumsi obat? Berapa banyak dosis obat yang diminum? Apakah seluruh resep dokter telah diminum semua?
Dalam map itu juga tersimpan rapi semua ijazah dan raport anak-anak. “Ayah meletakkannya di bagian paling pertama dengan beberapa catatan yang ditulisnya sendiri. Misalnya saja tulisan ayah tentang raport dan ijazah Saiful Islam, ditulisnya “Saif perlu peningkatan dalam hal ini dan ini....Wafa perlu dibantu dalam materi pelajaran ini......” ujar Tsana. Demikian catatan demi catatan itu ditulis oleh Hasan Al Banna untuk satu per satu anak-anaknya.
Tsana mengatakan, “Tentang apa yang diberikan khusus untuk kami adalah, ayah mengirimkan kami bersama kepada salah seorang ikhwah untuk membeli beberapa keperluan sekolah. Ayah-semoga Allah merahmatinya- menyediakan masing-masing kami satu map khusus, yang digunakan untuk menghimpun semua hal yang khusus tentang kami untuk perbaikan atau kemajuan di sekolah, bahkan termasuk masalah makan. Ya, tentang masalah makan dan obat-obatan yang kami minum sejak kami lahir, juga tentang sakit yang pernah kami derita sejak kami lahir. Ayah –semoga Allah merahmatinya- sangat teratur dalam mengatur kewajibannya, sangat dan sangat teratur sekali. Hampir tak ada tumpang tindih dalam dokumennya.”

5.     Ayah Membawakan Bekal Ke Sekolah
Ini salah satu kebiasaan Al Banna yang mungkin jarang dilakukan para ayah. Beliau memberi bantuan dan pemeliharaan serta perhatian kepada anak-anak hingga dalam tingkatan menjadikan mereka merasa bahwa mereka selalu dalam kondisi penuh perhatian dari orang tua. Jika seorang anak merasa bahwa dirinya adalah nomor satu dalam hati orang tuanya, ini adalah modal utama keberhasilan dalam mendidik mereka. Tentang perhatian Imam Hasan Al Banna terhadap anak-anaknya dan bagaimana pemeliharaan Al Banna diceritakan oleh Saiful Islam :
“Aku tidak melebihkan dan tidak berlebih-lebihan dalam masalah ini, ketika aku sebutkan bahwa ayah adalah pemimpin rumah tangga ideal. Sejak aku masih kecil dan masih kanak-kanak aku belum pernah merasakan ayah kurang memperhatikan kami atau kurang memikirkan masalah kami. Kami justru takjub ketika kami merasa bahwa kami sendiri saat ini belum bisa mencapai seperti yang dilakukan ayah kepada kami.”
Berkata Ir. Roja Hasan Al Banna, “Aku ingat, ayah-semoga Allah merahmatinya- biasa membawakan makan pagi ke sekolah taman kanak-kanak, ketika usiaku masih lima tahun. Itu karena perhatiannya kepadaku begitu besar agar aku bisa makan pagi. Ketika itu aku memang sering lupa membawa roti untuk makan pagi ke sekolah, atau mungkin pula makananku diambil oleh teman-teman di sekolah. Ayah sangat berusaha untuk membawakan makan pagi itu setiap hari ke sekolah meskipun aku tahu kesibukannya luar biasa. Tapi beliau tetap tidak melupakan kami...”
Efek dari sikap itu adalah kecintaan dan keterikatan sangat kuat antara anak-anaknya kepada Hasan Al Banna. Roja menambahkan, “Kami sangat mencintai ayah...sangat cinta. Kami mentaati keinginannya karena kami cinta kepadanya, bukan karena kami takut padanya. Sampai jika ayah pergi, kami semua sangat merasa kehilangan. Aku ingat ketika saudaraku Roja menghubungi para ikhwan di kantor pusat Al Ikhwan untuk bertanya tentang Ustadz Iwadh Abdul Karim tentang kabar ayah yang sedang melakukan perjalanan dakwah.” 
Bersambung...
Baca juga Cinta Di Rumah Hasan Al Banna (Bagian 2)

0 Response to "Cinta Di Rumah Hasan Al Banna (Bagian 3)"

Posting Komentar

Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...