Oleh : Irfan Maulidi (Ketua DPW PKS Banten)
Katanya kemesraan adalah salah satu tolok ukur kebahagian dalam suatu keluarga.
Kata itu merupakan kesimpulan dari pelatihan, katanya, 'keluarga samara'.
Dalam beberapa hal, saya setuju tapi dalam beberapa beberapa hal juga saya kurang setuju.
Saya setuju dengan catatan bila :
1. Kemesraan yang dimaksud bukan sekedar keharusan untuk bersama dalam kesedihan atau keb
Kata itu merupakan kesimpulan dari pelatihan, katanya, 'keluarga samara'.
Dalam beberapa hal, saya setuju tapi dalam beberapa beberapa hal juga saya kurang setuju.
Saya setuju dengan catatan bila :
1. Kemesraan yang dimaksud bukan sekedar keharusan untuk bersama dalam kesedihan atau keb
ahagiaan.
2. Kemesraan yang dimaksud bukan mewajibkan seorang pasangan untuk saling, dalam artian keharusan membalas semua kebaikan.
3. Kemesraan yang dimaksud bukan dalam arti 'fisicly' mesra saja.
4. Kemesraan yang dimaksud juga harus meng'iya'kan semua syari'ah tentang pernikahan. Bukan menghalangi apalagi menipu syariah.
Diatas itu beberapa persyaratan yang mengganjal dalam benak saya ketika mengikuti pelatihan 'keluarga samara'.
Bagi saya berkeluarga itu adalah bagian dari usaha kita untuk lebih beribadah kepada Allah.
Kata ibadah itu menjadi kunci.
Kata ibadah itu jauh dari kata meni'mati. Keni'matan yang dirasakan dalam pernikahan adalah hikmah dari ibadah kita.
Bukan suatu keharusan.
Karena dalam ibadah, hal utama yang ada adalah pengorbanan atau tadhiah atau memberi.
Alangkah indahnya bila dalam berkeluarga landasannya adalah ibadah yang didalamnya ada tadhiah atau pengorbanan atau pemberian.
Ketika seorang suami bekerja dengan susah payah, sampai membahayakan nyawanya, kemudian pulang kerumah dan mendapati istrinya sedang marah, maka apakah kita menjudge keluarga itu bahagia.
Atau sebaliknya, seorang istri yang sholehah, yang men'service' suaminya dengan sangat baik, menjaga anak dan harta suaminya dengan baik, kemudian mendapati suaminya melakukan sebuah 'kesalahan' sebagai laki laki dan sebagai manusia maka kita menjudge bahwa keluarga ini tidak bahagia.
Sekali lagi tidak.
Saya katakan bahwa sebuah keluarga bukan sekumpulan malaikat. Mereka adalah manusia biasa. Mereka adalah hamba Allah yang pasti melakukan sebuah kesalahan.
Kebahagiaan hakikatnya adalah pribadi per pribadi. Akan sangat baik bila Allah mentakdirkan kebahagiaan bersama diantara anggota keluarga. Tapi bukan sebuah kesalahan bila kebahagiaan datangnya berbeda waktunya.
Bagi saya kunci kebahagiaan adalah berkorban, tadhiah alias memberi karena Allah. Bukan karena kita ingin dibalas dengan 'kemesraan' semu. Kita hanya inginkan kebahagiaan dunia dan akhirat ketika Allah ridlo pada pengorbanan kita. Dan pengorbanan yang akan diterima adalah pengorbanan terbaik dan ridlo pada ketentuan Allah 'semuanya'.
Alangkah indahnya seorang istri bila ia mengorbankan yang terbaik yang ia bisa, dan seorang suami mengorbankan yang terbaik yang mampu dilakukan.
Dalam hal ini saya adalah seorang konservatife bahwa saya tidak mau terjebak dalam 'kemesraan' yang klise yang mengaburkan tujuan berkeluarga yaitu ibadah kepada Allah azza wajalla.
Dan saya tidak setuju pada 'Up date' keluarga bahagia yang harus 'mesra' seperti sinetron.
Yang saya bayangkan dan obsesikan adalah sebuah keluarga pejuang...
Sebuah keluarga yang masing masing mengorbankan demi perjuangan...
Demi penghambaan...
Penghambaan kepada Allah...
Seperti keluarga pejuang Palestina...
Seperti keluarga para pejuang pembela agama ini...
Seperti keluarga para sahabat Rasulullah...
Seperti keluarga Rasulullah...
Karena Rasulullah lah contoh yang utama...
Bukan sinetron...
Bukan asumsi...
Bukan angan angan...
2. Kemesraan yang dimaksud bukan mewajibkan seorang pasangan untuk saling, dalam artian keharusan membalas semua kebaikan.
3. Kemesraan yang dimaksud bukan dalam arti 'fisicly' mesra saja.
4. Kemesraan yang dimaksud juga harus meng'iya'kan semua syari'ah tentang pernikahan. Bukan menghalangi apalagi menipu syariah.
Diatas itu beberapa persyaratan yang mengganjal dalam benak saya ketika mengikuti pelatihan 'keluarga samara'.
Bagi saya berkeluarga itu adalah bagian dari usaha kita untuk lebih beribadah kepada Allah.
Kata ibadah itu menjadi kunci.
Kata ibadah itu jauh dari kata meni'mati. Keni'matan yang dirasakan dalam pernikahan adalah hikmah dari ibadah kita.
Bukan suatu keharusan.
Karena dalam ibadah, hal utama yang ada adalah pengorbanan atau tadhiah atau memberi.
Alangkah indahnya bila dalam berkeluarga landasannya adalah ibadah yang didalamnya ada tadhiah atau pengorbanan atau pemberian.
Ketika seorang suami bekerja dengan susah payah, sampai membahayakan nyawanya, kemudian pulang kerumah dan mendapati istrinya sedang marah, maka apakah kita menjudge keluarga itu bahagia.
Atau sebaliknya, seorang istri yang sholehah, yang men'service' suaminya dengan sangat baik, menjaga anak dan harta suaminya dengan baik, kemudian mendapati suaminya melakukan sebuah 'kesalahan' sebagai laki laki dan sebagai manusia maka kita menjudge bahwa keluarga ini tidak bahagia.
Sekali lagi tidak.
Saya katakan bahwa sebuah keluarga bukan sekumpulan malaikat. Mereka adalah manusia biasa. Mereka adalah hamba Allah yang pasti melakukan sebuah kesalahan.
Kebahagiaan hakikatnya adalah pribadi per pribadi. Akan sangat baik bila Allah mentakdirkan kebahagiaan bersama diantara anggota keluarga. Tapi bukan sebuah kesalahan bila kebahagiaan datangnya berbeda waktunya.
Bagi saya kunci kebahagiaan adalah berkorban, tadhiah alias memberi karena Allah. Bukan karena kita ingin dibalas dengan 'kemesraan' semu. Kita hanya inginkan kebahagiaan dunia dan akhirat ketika Allah ridlo pada pengorbanan kita. Dan pengorbanan yang akan diterima adalah pengorbanan terbaik dan ridlo pada ketentuan Allah 'semuanya'.
Alangkah indahnya seorang istri bila ia mengorbankan yang terbaik yang ia bisa, dan seorang suami mengorbankan yang terbaik yang mampu dilakukan.
Dalam hal ini saya adalah seorang konservatife bahwa saya tidak mau terjebak dalam 'kemesraan' yang klise yang mengaburkan tujuan berkeluarga yaitu ibadah kepada Allah azza wajalla.
Dan saya tidak setuju pada 'Up date' keluarga bahagia yang harus 'mesra' seperti sinetron.
Yang saya bayangkan dan obsesikan adalah sebuah keluarga pejuang...
Sebuah keluarga yang masing masing mengorbankan demi perjuangan...
Demi penghambaan...
Penghambaan kepada Allah...
Seperti keluarga pejuang Palestina...
Seperti keluarga para pejuang pembela agama ini...
Seperti keluarga para sahabat Rasulullah...
Seperti keluarga Rasulullah...
Karena Rasulullah lah contoh yang utama...
Bukan sinetron...
Bukan asumsi...
Bukan angan angan...
0 Response to "Kemesraan Sesungguhnya Dalam Keluarga"
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"