Mursi, Obama, dan Hamas

PKS Petir -- Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
mursi-obama-hamas
Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama merasa tidak perlu sampai mencicipi makanan penutup saat menghadiri jamuan makan malam KTT ASEAN dan KTT Asia Timur di Phnom Penh, Kamboja, Senin pekan lalu. Ia cepat-cepat kembali ke kamar hotelnya. Jarum jam menunjuk di angka 23.30. Tampaknya konsentrasi Obama tidak fokus di KTT. Konsentrasi Obama ke tempat lain: Gaza.
Ia pun menelepon Presiden Mesir Muhammad Mursi. Dalam 25 menit pembicaraan telepon, kedua pemimpin mendiskusikan cara menghentikan serangan berdarah Israel ke wilayah Gaza. Hasil pembicaan, perlunya Obama mengirimkan menteri luar negerinya, Hillary Clinton, ke Timur Tengah. Tiga jam kemudian, tepatnya pukul 02.30 (dini hari), Obama kembali menelepon Mursi.
Gencatan senjata Israel dengan Hamas, Rabu lalu, memang tak terlepas dari peran besar Mursi dan Obama. Ia juga sekaligus membuka lembaran baru hubungan baik antara keduanya, yang sebelumnya selalu diwarnai kecurigaan. Terutama, karena Mursi berasal dari Ikhwanul Muslimin, yang dianggap berpandangan ‘keras’ terhadap Barat.

Selama krisis Gaza, enam kali Obama menelepoan Mursi. Bahkan sehari ia pernah nenelepon Presiden Mesir itu hingga tiga kali. Sebuah hubungan di luar kebiasaan para pemimpin negara. Menurut sebuah sumber, seperti dikutip media Al Sharq Al Awsat, kepada stafnya Obama menyatakan ia kagum dengan kepercayaan diri dan kharisma Presiden Mursi.
Mursi, kata Obama, juga sangat perinci dengan apa yang sedang mereka diskusikan. ‘’Ia (Mursi) sangat fokus dalam mencari solusi. Ia juga tidak mau menjanjikan sesuatu yang tidak bisa ia realisasikan,’’ ujar Obama. Di pihak Mesir sendiri, Mursi, kata penasihat politik luar negerinya Isom Haddad, memandang Amerika sebagai kunci dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel.

Apalagi, faktual, Amerika merupakan pendukung utama keberadaan negara Yahudi itu. ‘’Mereka (Clinton dan delegasinya) memang membawa misi dari sisi kepentingan Israel. Namun, kali ini mereka juga dapat memahami kepentingan pihak lain, yakni pihak Palestina. Kalau perundingan didasarkan pemahaman seperti ini, maka solusi pasti akan didapatkan,’’ ujar Isom Haddad.
Sejak Mursi terpilih menjadi presiden Mesir pada Juni lalu, hubungannya dengan Obama memang naik turun. Kemenangan Mursi dalam pemilu demokratis pertama di Mesir telah membuat khawatir Washington. Penyebabnya, Mursi merupakan presiden pertama dari partai Islam yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin.

Pada zaman Presiden Jamal Abdul Nasir, Presiden Anwar Sadat, dan Presiden Husni Mubarak, Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi terlarang. Sejumlah tokohnya dipenjara dan dikejar-kejar. Itu sebabnya Obama semula ragu menjadikan Mursi sebagai mitra utama menyelesaikan serangan Israel ke Gaza. Apalagi selama ini Mursi dikenal dekat secara ideologis dengan para pejuang Hamas.

Namun, setelah berhubungan telepon beberapa kali, Obama menyadari Presiden Mursi merupakan kunci solusi persoalan dengan Hamas yang menjadi ‘penguasa’ di Gaza. Setelah yakin dengan Mursi, Obama pun -- dalam pesawat Air Force One di tengah perjalanannya dari Phnom Penh ke Washington pada Rabu lalu -- melelepon PM Israel Benjamin Netanyahu.
Ia menekan Israel untuk menerima pejanjian gencatan senjata yang dirancang Mursi. Presiden Mursi tentu bukan hanya berhubungan dengan Obama maupun Hillary Clinton. Di Kairo ia banyak menerima tamu penting yang datang untuk ikut menyelesaikan kondisi kritis di Gaza.

Mereka antara lain Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan, kepala urusan politik Hamas Khalid Mas’al, delegasi perundingan Israel, ketua Liga Arab Nabil Arabi, dan Perdana Menteri Qatar Hamad bin Jassim bin Jaber Al Thani. Sebelumnya, ia juga mengutus Perdana Menteri Mesir Hisham Qandil berkunjung ke Gaza.
Dengan keberhasilan gencatan senjata di Gaza, kini Presiden Mursi telah mengembalikan peran besar Mesir di kawasan Timur Tengah. Peran yang sebelumnya telah dimainkan oleh Presiden Jamal Abdul Nasir. Peran Mesir mulai berkurang sejak ditandatanganinya perjanjian damai dengan Israel oleh Presiden Anwar Sadat.

Kini, setelah penjanjian gencatan senjata, peran Mursi masih terus diuji. Bisakah, misalnya, perjanjian gencatan senjata berlangsung lama. Sebab, penjanjian itu melarang Hamas menembakkan senjata ke wilayah Israel, baik darat, laut maupun udara. Dan, begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain, dapatkah ia memaksa pejuang Hamas yang terbiasa berjuang dengan senjata beralih ke perjuangan lewat perundingan?

Sebab, dengan Perjanjian Kairo itu, juga boleh dikata terjadinya pergantian pemain lama dengan pemain baru. Pemain lama tokohnya antara lain Presiden Palestina Mahmud Abas alias Abu Mazen, yang berasal dari kelompok Fatah/PLO. Sedangkan pemain baru adalah para pemimpin Hamas.

Selama ini Netanyahu menolak Abu Mazen karena yang terakhir ini menginginkan sebuah negara merdeka dengan batas-batas yang pasti dan abadi. Sementara itu, bila perjanjian dengan Hamas seperti sekarang ini dan bisa saja berlangsung hingga tahunan, maka itu tanpa peta dan batas-batas negara yang jelas.

Bagi Netanyahu, tampaknya gencatan senjata lebih baik daripada penyelesaian secara menyeluruh. Dengan begitu, Israel tetap bisa memperluas pemukiman Yahudi dan memperkuat cengkeramannya di wilayah yang didudukinya. Di pihak lain, gencatan senjata yang baru saja disepakati telah menjadikan Hamas sebagai pemain utama Palestina.
Hamas selama ini dituduh Israel dan AS sebagai organisasi teroris, dan karena itu menolak berunding dengan mereka. Dengan kondisi seperti itu, perjuangan bangsa Palestina meraih kemerdekaannya memang masih panjang. [republika]

0 Response to "Mursi, Obama, dan Hamas"

Posting Komentar

Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...