Dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam bersabda: "Islam dimulai dalam kondisi asing, dan akan kembali
sebagaimana ia dimulai (sebagai sesuatu yang) asing; maka berbahagialah bagi
kaum ghuraba' (orang-orang yang asing
tersebut)".
[H.R.Muslim]
Kajian Bahasa
Lafazh
ghariiban; yang merupakan derivasi (kata turunan) dari lafazh al-Ghurbah
memiliki dua makna: pertama, makna yang bersifat fisik seperti seseorang hidup
di negeri orang lain (bukan negeri sendiri) sebagai orang asing. Kedua, bersifat
maknawi -makna inilah yang dimaksud disini- yaitu bahwa seseorang dalam
keistiqamahannya, ibadahnya, berpegang teguh dengan agama dan menghindari
fitnah-fitnah yang timbul adalah merupakan orang yang asing di tengah kaum yang
tidak memiliki prinsip seperti demikian.
Keterasingan ini bersifat
relatif sebab terkadang seseorang merasa asing di suatu tempat namun tidak di
tempat lainnya, atau pada masa tertentu merasa asing namun pada masa lainnya
tidak demikian.
Makna kalimat "bada-al Islamu ghariibaa [Islam dimulai
dalam kondisi asing]" : ia dimulai dengan (terhimpunnya) orang per-orang (yang
masuk Islam), kemudian menyebar dan menampakkan diri, kemudian akan mengalami
surut dan berbagai ketidakberesan hingga tidak tersisa lagi selain orang
per-orang (yang berpegang teguh kepadanya) sebagaimana kondisi ia dimulai.
Makna kalimat "fa thuuba lil ghurabaa' [maka berbahagialah bagi kaum
ghuraba' (orang-orang yang asing tersebut)]" : Para ulama berbeda pendapat
mengenai makna lafazh thuuba. Terdapat beberapa makna, diantaranya: fariha wa
qurratu 'ain (berbahagia dan terasa sejuklah di pandang mata); ni'ma maa lahum
(alangkah baiknya apa yang mereka dapatkan); ghibthatan lahum (kesukariaanlah
bagi mereka); khairun lahum wa karaamah (kebaikan serta kemuliaanlah bagi
mereka); al-Jannah (surga); syajaratun fil jannah (sebuah pohon di surga). Semua
pendapat ini dimungkinkan maknanya dalam pengertian hadits
diatas.
Intisari Dan Hukum-Hukum Terkait
Hadits tersebut
menunjukkan betapa besar keutamaan para Shahabat radhiallaahu 'anhum yang telah
masuk Islam pada permulaan diutusnya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam karena
karakteristik tentang ghuraba' tersebut sangat pas buat mereka. Keterasingan
(ghurbah) yang mereka alami adalah bersifat maknawi dimana kondisi mereka
menyelisihi kondisi yang sudah berlaku di tengah kaum mereka yang telah
terwabahi oleh kesyirikan dan kesesatan.
Berpegang teguh kepada
Dienullah, beristiqamah dalam menjalankannya serta mengambil suri teladan Nabi
kita, Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam adalah merupakan sifat seorang
Mukmin yang haq yang mengharapkan pahala sebagaimana yang diraih oleh kaum
ghuraba' tersebut meskipun (dalam menggapai hal tersebut) kebanyakan orang yang
menentangnya. Yang menjadi tolok ukur adalah berpegang teguh kepada al-Haq,
bukan kondisi yang berlaku dan dilakukan oleh kebanyakan orang. Allah Ta'ala
berfirman: "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya..." (Q.S. 6:116).
Besarnya pahala yang akan diraih oleh kaum ghuraba' serta tingginya
kedudukan mereka. Yang dimaksud adalah kaum ghuraba' terhadap agamanya alias
mereka menjadi asing lantaran berpegang teguh kepada al-Haq dan beristiqamah
terhadapnya, bukan mereka yang jauh dari negeri asalnya dan menjadi asing
disana.
Dalam beberapa riwayat, dinyatakan bahwa makna al-Ghuraba'
adalah orang yang baik/lurus manakala kondisi manusia sudah rusak. Juga terdapat
makna; mereka adalah orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia.
Ini menunjukkan bahwa kelurusan jiwa semata tidak cukup akan tetapi harus ada
upaya yang dilakukan secara bijak, lemah lembut dan penuh kasih sayang dalam
memperbaiki kondisi manusia yang sudah rusak agar label ghuraba' yang dipuji
dalam hadits diatas dapat ditempelkan kepada seorang Mukmin.
0 Response to "Karakteristik Kaum Ghuraba"
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"