Oleh :
DEDE KODRAT
Berkaca
dari pilkada Kabupaten Pandeglang dan Tangerang Selatan, banyak sekali
pelajaran yang dapat kita ambil dari sana. Tak mudah menjadi kepala
daerah yang basis utama dukungannya adalah birokrasi. Bila kemenangan
tiba, maka akan segera disusul dengan pembatalan Mahkamah Konstitusi.
Karena abuse of power adalah alasan utama kemenangan incumbent menjadi ternoda. Sebab, sekarang kita punya kawan baru, dialah “si TSM” (Terstruktur, Sitematis dan Massif).
Tidak
dapat kita pungkiri, birokrasi merupakan aset yang sangat besar. Mereka
memiliki struktur yang berjenjang, rantai komando yang rapih, bahkan
militansinya tidak dapat diragukan lagi. Beberapa Istilah yang akrab
kita dengar adalah loyalitas. Bahkan saya pernah mendengar guyonan dari
para pejabat, “Sebagai birokrat (PNS) kita harus netral, tapi sebagai
bawahan kita harus loyal terhadap pimpinan”.
Melihat
ini semua kita tidak akan terheran-heran jika hampir semua pilkada di
tingkat kabupaten ataupun provinsi dengan sangat mudah dimenangkan oleh
incumbent yang memiliki dukungan kuat birokrasi. Memang menjadi maklum
ketika seorang PNS mempunyai pilihan sendiri, tapi ketika jabatan yang
dimilikinya dimanfaatkannya untuk memenangkan salah satu Calon di
Pilkada, ini menjadi sangat tidak etis. Karena walau bagaimanapun, bagi
para bawahan tidak ada pilihan lain baginya selain mencari aman. Sebab
bisa saja jika tidak mendukung posisinya dapat terancam. Atau dirinya
dianggap sebagai PNS yang tidak memiliki loyalitas terhadap atasan.
Tapi
pernahkan kita berpikir, bagaimana membalikan birokrasi untuk bertindak
sesuai dengan instinknya. Sebab, sesungguhnya merekalah penguasa baru
abad ini. Birokratlah yang mempunyai posisi tawar yang sangat kuat.
Karena kekuatan mereka cukup potensial untuk melakukan apapun. Mereka
adalah para decision maker yang memiliki efek langsung terhadap
publik. Selama ini, kita melihat birokrasilah yang selalu direkayasa
(dimanipulasi). Padahal jika para birokrat berpikir merdeka, bebas dari
kepentingan para incumbent, saya yakin mereka akan menjadi mainstream
kekuatan politik abad ini.
Walaupun
menurut Max Weber birokrasi mempunyai pola komunikasi atasan-bawahan,
sesungguhnya jika diamati lebih dalam mereka lebih menyukai pola
komunikasi kesetaraan. Oleh karena itu, tekanan-tekanan dan intimidasi
yang mereka alami selama ini sebetulnya menjadi api dalam sekam, atau
bara yang siap menjadi daya yang hasilnya akan berubah menjadi sebuah
perlawanan. Artinya, kemungkinan untuk mengelola birokrasi keluar dari
kepentingan para incumbent sangat terbuka lebar. Celah-celah baru
bermunculan, karena sudah terlalu lama fakta sejarah pilkada – pilkada
hanya menyisakan kesedihan bagi para birokrat.
Oleh
karena itu inilah era baru yang kita tunggu, “melawan incumbent.”
Karena era ini adalah era perjuangan untuk merebut kemerdekaan yang
telah lama direnggut. Renaisance yang dimunculkan dan
dikehendaki oleh kita semua. Bukan oleh sekelompok orang yang bertindak
atas nama rakyat, tapi hasil tindakannya hanya untuk dirinya sendiri.
Kuda Hitam
Sampai
saat ini, Pemilihan Gubernur Banten konstelasi politiknya masih
diwarnai oleh calon incumbent. Lihat saja, Gubernur Banten, Ratu Atut
Chosiah, Walikota Tangerang, Wahidin Halim, dan Bupati Lebak Mulyadi
Jayabaya. Dengan melihat uraian di atas, dimana peluang polarisasi
kekuatan birokrat yang tidak ingin terkungkung oleh kekuatan politik
bisa saja menjadi mainstream. Oleh karena itu, calon alternatif yang
lepas dari “label” incumbent memiliki peluang yang sangat besar untuk
menjadi kuda hitam di pilgub Banten kali ini.
Artinya
dibutuhkan sosok calon alternatif yang membawa keterwakilan masyarakat,
termasuk di dalamnya birokrat. Karena hari ini masyarakat mempunyai ‘ngeh’
politik yang cukup tinggi. Sebab itulah pilihan sosok ini menjadi
sangat penting. Sebagai contoh, salah satu calon gubernur saat ini yang
dicitrakan sebagai pembaharu yang melawan oligarki kekuasaan, padahal
sebaliknya secara diam-diam ia membangun dinasti politik yang sama.
Bahkan perilaku politiknya tidak terlalu jauh berbeda dengan mereka yang
sedang berkuasa sedikit lebih tinggi di atasnya. Akan sangat lucu bila
pencitraan ini terus dilakukan, karena itu kita semua harus jujur,
mulailah pencitraan dari yang ada, bukan yang diada-adakan.
Pertanyaannya
mampukah PKS, Demokrat, PDIP dan partai-partai lain melakukan itu.
Melawan incumbent, tapi justru meraih simpati dari kekuatan utama
mereka. Oleh karena itu, marilah kita dorong birokrasi melakukan apa
yang dilakukannya sebagai kebenaran etis. Kita jaga mereka dari
intervensi dan intimidasi, lalu merdekakan dengan visi yang nyata dalam
membenahi Banten. Karena yang saya yakini pusat kekuatan lawan adalah
sekaligus pusat kelamahannya juga.
Tentu
saja pertanyaan ini harus di jawab dengan beberapa indikator, apakah
PKS, Demokrat dan PDIP memiliki jaringan sampai ketingkat ranting.
Seberapa besar sumberdaya yang dimiliki, apakah kadernya memiliki
militansi yang tidak diragukan. Kenapa pertanyaan ini diajukan dengan
sangat prematur? Karena jika sampai tahapan PILGUB tiba, lalu kita tidak
memiliki kekuatan untuk bertarung secara head to head di level
Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tentu saja hasil PILGUB akan diketahui
sebelum waktu pencoblosan. Kuncinya adalah insfrastruktur, bukan
memperbanyak kalender dan baliho yang pembiayaannya diambil dari dana
APBD.
Meminjam
istilah Gandung Ismanto, “Uang itu penting, tapi uang bukan
segala-galanya.” Karena ini adalah era pilkada maka Istilah ini saya
rubah, “birokrasi memang penting, tapi bukan segala-galanya.” So…. Beranikah melawan incumbent? Tunggu saja tanggal mainnya.
Penulis, Masyarakat Pena Saija
0 Response to "Melawan Incumbent, Mungkinkah?"
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"