PKS Petir.-Setiap warga negara memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat, yang dilindung oleh undang-undang baik di Indonesia maupun dunia. Dengan kemudahan akses informasi dan banyaknya media yang hadir ditengah-tengah publik, secara tidak langsung membuka selebar-lebarnya ruang publik untuk bisa mengekpresikan apapun yang ia mau dalam berbagai bentuk. Berkaitan dengan hal ini, pers menjadi media utama informasi dan komunikasi.
Tapi miris rasanya,membaca, menyaksikan dan mencermati perkembangan berita dalam beberapa minggu ini, setiap hari masyarakat disuguhi dengan informasi yang cenderung tendesius dengan judul berita yang menghakimi serta memperlebar jurang perdebatan terhadap kasus hukum suap kuota sapi impor yang mendera Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq. Para pegiat media seolah saling berlomba memblow up berita-berita negatif yang terkait dengan kasus ini, ujung-ujungnya adalah menegasikan apapun yang berbau Islam, terutama Pergerakan Islam dengan dua isu sentral: Gratifikasi Seks dan Terorisme.
Beberapa media sebut saja detik.com, Tempo, Metro TV, TV One dan beberapa media lainnya telah secara nyata melanggar Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yaitu, pelanggaran atas kewajiban wartawan indonesia menguji informasi, tidak membuat berita secara tak seimbang, mencampuradukan fakta dan opini yang menghakimi dan tidak menerapkan asas praduga tak bersalah.
Selain pasal 3 KEJ, beberapa media juga telah melanggar Pasal 8 KEJ yang menyatakan bahwa: Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Media seharusnya mampu mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM, yakni dengan cara mengutarakan logika proses hukum dalam penegakkan keadilan yang seharusnya menenangkan masyarakat, bukan malah menjadi public-opinian yang liar dan cenderung negatif serta dibumbui dengan manipulasi fakta dan kebohongan kepada pihak tertentu. Hingga akhirnya berujung pada penistaan norma-norma dan simbol agama tertentu. Karena jika tidak maka akan beresiko pada iklim pergaulan antar anak bangsa yang rusak dan menjurus pada perpecahan.
Hal ini senada dijelaskan pada pasal 5 UU Pers yang menyatakan : “pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah”.
Selain itu Pasal 5 UU Pers juga menyatakan bahwa“Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut”. Untuk lebih lengkapnya silahkan baca link berikut: http://www.radioprssni.com/prssninew/internallink/legal/uu_pers.htm
Nah, bagi media yang tetap demen dengan melakukan propaganda, berikut penulis paparkan beberapa sanksi hukum kepada media massa yang melakukan penyalahgunaan wewenang penyampaian informasi, antara lain sebagai berikut:
Berdasarkan UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) disebutkan bahwa ada ancaman pidana 12 tahun bagi para penyebar berita bohong dan menyesatkan. Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.
Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.
Ancaman pidana seperti yang diatur pada Pasal 51 UU ITE:
Pasal 51
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Selain itu bagi media penyiaran yang terbukti secara nyata melanggar SPS (Standar Program Siaran ) dapat dijatuhi sanksi administrasi oleh KPI sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang SPS. Sanksi administrasi yang dimaksudkan itu dapat berupa teguran tertulis, penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu, pembatasan durasi dan waktu siaran, denda administratif, pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, hingga pencambutan izin penyelenggaran penyiaran. Ketentuan tentang sanksi administratif juga diatur dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 pada Pasal 55 ayat 1 dan 2.
Sebagai media penyampai berita, penulis tidak melarang media massa baik cetak maupun elektronik untuk mencari, mengumpulkan, mengelola dan menyiarkan informasi kepada publik karena hak memperoleh informasi juga menjadi hak publik yang diatur dalam konstitusi UUD 1945 amandemen ke-4 Pasal 28 F, juga didilindungi dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999. Hanya saja harus diimbangi dengan kesadaran para pegiat media untuk tetap menjujung tinggi kodek etik jurnalistik dan aturan-aturan pers yang berlaku. Kemerdekaan pers harus senantiasa disertai tanggung jawab dan disiplin, penghormatan terhadap hukum dan kode etik, terus menerus meningkatkan kualitas dan integritas, dituntun hati nurani yang benar dan adil. Sampaikan informasi dengan sikap independen yang professional.Karena kesalahan pemberitaan dapat menimbulkan kecemasan dan dampak negatif dalam kehidupan masyarakat. Penulis tidak mau kalau media kemudian menjadi alat propaganda untuk menyiarkan berita bohong, tendesius dan cenderung menghakimi.
Medan, 24 Mei 2013
Arni Susanti S.Si
Tapi miris rasanya,membaca, menyaksikan dan mencermati perkembangan berita dalam beberapa minggu ini, setiap hari masyarakat disuguhi dengan informasi yang cenderung tendesius dengan judul berita yang menghakimi serta memperlebar jurang perdebatan terhadap kasus hukum suap kuota sapi impor yang mendera Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq. Para pegiat media seolah saling berlomba memblow up berita-berita negatif yang terkait dengan kasus ini, ujung-ujungnya adalah menegasikan apapun yang berbau Islam, terutama Pergerakan Islam dengan dua isu sentral: Gratifikasi Seks dan Terorisme.
Beberapa media sebut saja detik.com, Tempo, Metro TV, TV One dan beberapa media lainnya telah secara nyata melanggar Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yaitu, pelanggaran atas kewajiban wartawan indonesia menguji informasi, tidak membuat berita secara tak seimbang, mencampuradukan fakta dan opini yang menghakimi dan tidak menerapkan asas praduga tak bersalah.
Selain pasal 3 KEJ, beberapa media juga telah melanggar Pasal 8 KEJ yang menyatakan bahwa: Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Media seharusnya mampu mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM, yakni dengan cara mengutarakan logika proses hukum dalam penegakkan keadilan yang seharusnya menenangkan masyarakat, bukan malah menjadi public-opinian yang liar dan cenderung negatif serta dibumbui dengan manipulasi fakta dan kebohongan kepada pihak tertentu. Hingga akhirnya berujung pada penistaan norma-norma dan simbol agama tertentu. Karena jika tidak maka akan beresiko pada iklim pergaulan antar anak bangsa yang rusak dan menjurus pada perpecahan.
Hal ini senada dijelaskan pada pasal 5 UU Pers yang menyatakan : “pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah”.
Selain itu Pasal 5 UU Pers juga menyatakan bahwa“Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut”. Untuk lebih lengkapnya silahkan baca link berikut: http://www.radioprssni.com/prssninew/internallink/legal/uu_pers.htm
Nah, bagi media yang tetap demen dengan melakukan propaganda, berikut penulis paparkan beberapa sanksi hukum kepada media massa yang melakukan penyalahgunaan wewenang penyampaian informasi, antara lain sebagai berikut:
Berdasarkan UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) disebutkan bahwa ada ancaman pidana 12 tahun bagi para penyebar berita bohong dan menyesatkan. Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.
Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.
Ancaman pidana seperti yang diatur pada Pasal 51 UU ITE:
Pasal 51
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Selain itu bagi media penyiaran yang terbukti secara nyata melanggar SPS (Standar Program Siaran ) dapat dijatuhi sanksi administrasi oleh KPI sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang SPS. Sanksi administrasi yang dimaksudkan itu dapat berupa teguran tertulis, penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu, pembatasan durasi dan waktu siaran, denda administratif, pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, hingga pencambutan izin penyelenggaran penyiaran. Ketentuan tentang sanksi administratif juga diatur dalam UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 pada Pasal 55 ayat 1 dan 2.
Sebagai media penyampai berita, penulis tidak melarang media massa baik cetak maupun elektronik untuk mencari, mengumpulkan, mengelola dan menyiarkan informasi kepada publik karena hak memperoleh informasi juga menjadi hak publik yang diatur dalam konstitusi UUD 1945 amandemen ke-4 Pasal 28 F, juga didilindungi dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999. Hanya saja harus diimbangi dengan kesadaran para pegiat media untuk tetap menjujung tinggi kodek etik jurnalistik dan aturan-aturan pers yang berlaku. Kemerdekaan pers harus senantiasa disertai tanggung jawab dan disiplin, penghormatan terhadap hukum dan kode etik, terus menerus meningkatkan kualitas dan integritas, dituntun hati nurani yang benar dan adil. Sampaikan informasi dengan sikap independen yang professional.Karena kesalahan pemberitaan dapat menimbulkan kecemasan dan dampak negatif dalam kehidupan masyarakat. Penulis tidak mau kalau media kemudian menjadi alat propaganda untuk menyiarkan berita bohong, tendesius dan cenderung menghakimi.
Medan, 24 Mei 2013
Arni Susanti S.Si
http://www.intriknews.com/2013/05/media-propaganda-terancam-dibekukan.html#.UZ-ioeLSwBM.twitter
0 Response to "Awas, Media Propoganda Terancam Dibekukan"
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"