Oleh: Cahyadi Takariawan
DALAM DINAMIKA
dakwah, kadang ada
aktivitas tertentu yang memerlukan publisitas dalam rangka memberikan
informasi kepada masyarakat tentang kinerja gerakan dakwah yang telah banyak
melakukan upaya perbaikan. Tidak bias dipungkiri,
media sangat mengendalikan persepsi masyarakat
saat ini. Suatu kejahatan bisa dicitrakan sebagai sosok
pahlawan karena bangunan media. Sebaliknya, para pelaku kebaikan bisa dicitrakan sebagai sosok
pecundang karena opini media.
Selain
memberikan informasi, publisitas juga dimaksudkan
sebagai upaya memberikan pendidikan,
inspirasi, dan motivasi bagi semua kalangan
untuk melakukan kebaikan dan berlomba-lomba memperbanyak kontribusi
positif di tengah kehidupan masyarakat. Sangat banyak
pelajaran dan hikmah yang bisa diambil dari para
aktivis dakwah, namun seringkali tenggelam tidak banyak diketahui publik,
karena tidak adanya unsure publisitas. Sementara ada
tokoh politik tertentu yang sekali-kalinya naik kereta api
atau bus kota, diberitakan headline berhari-hari di berbagai
media.
Saya sempat
tertegun mendengar informasi tentang mahalnya
pencitraan. Seorang tokoh politik, karena ingin mendapatkan
pencitraan tentang kesederhanaan, maka ia rela
mengeluarkan dana ratusan milyar rupiah guna tampil di
televisi dan media massa lainnya. Betapa ironis, citra
sederhana yang ingin didapatkan, dibangun dengan biaya
ratusan milyar rupiah. Sudah pasti, konstituen tidak pernah
mengetahui hal itu. Mereka hanya memuji-muji sang tokoh
yang sederhana dan bersahaja, tanpa mengetahui
berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu.
Banyak
kalangan tokoh aktivis dakwah yang hidup dan kegiatannya
jauh dari publisitas. Mereka adalah orang-orang yang
ikhlas berbuat dan bekerja karena Allah, bukan berharap
pujian manusia. Mereka menjaga diri agar tidak
rusak amal yang telah mereka lakukan, karena pengaruh
perasaan riya yang berkembang dalam jiwa. Untuk itu
mereka lebih suka menjauhkan diri dari publisitas,
dan hidup dalam kesunyian walau kontribusi mereka untuk
perbaikan masyarakat sangat besar.
Namun di sisi
lain, karena tidak terpublikasikan oleh media, maka
kesederhanaan, kebersahajaan, dan kesungguhan
mereka dalam memperbaiki masyarakat tidak
diketahui banyak kalangan. Ketika muncul beberapa
tokoh politik yang menjadi ikon kesederhanaan, banyak masyarakat
bertanya, mengapa itu tidak muncul dari kalangan
aktivis dakwah? Salah satu jawabannya adalah karena faktor
publisitas. Para aktivis dakwah sepi dari publisitas sehingga kiprah mereka
tidak diketahui masyarakat luas.
Muncul
pertanyaan, apakah publisitas bertentangan dengan makna
keikhlasan? Apakah amal yang ikhlas harus selalu
disembunyikan? Al Qur’an memberikan gambaran dua
kondisi shadaqah (sedekah), yang keduanya
bernilai baik dan lebih baik. Tidak ada
yang dicela atau disalahkan. Perhatikan
ungkapan ayat berikut:
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu),
maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya
dan kamu berikan kepada orangorang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah
akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu;
dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al Baqarah : 271).
Dari ayat di
atas, kita mendapatkan beberapa pelajaran fiqih dakwah
sebagai berikut:
1.
Dibolehkannya menampakkan amal
Al Qur’an
menyatakan, “Jika kamu menampakkan sedekah(mu),
maka itu adalah baik sekali”. Suatu sedekah
atau pemberian kepada orang-orang yang
memerlukan dengan menampakkan atau
mempublikasikan adalah suatu tindakan yang dibolehkan, tidak dilarang. Bahkan
dikatakan sebagai “baik sekali”, bukan saja baik. Dalam hal
ini, sedekah yang ditampakkan bukanlah sesuatu yang
tercela atau dilarang.
Al Qur’an
juga menyebut umat Nabi Saw sebagai sebaik-baik
umat yang dihadirkan untuk seluruh manusia:
“Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imran: 110).
Kebaikan ini
akan memiliki makna yang memberikan banyak
dorongan motivasi dan inspirasi bagi masyarakat luas, jika
ditampakkan, bukan disembunyikan.
2.
Menyembunyikan amal karena menghindari riya’
Adakalanya
sedekah harus disembunyikan, jika dengan menampakkannya
akan menimbulkan riya dan menyakiti perasaan
orang-orang yang mendapatkan bagian sedekah
tersebut. Al Qur’an menyatakan, “Dan jika kamu menyembunyikannya
dan kamu berikan kepada orang-orang fakir,
maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu”.
Riya’ adalah
berkembangnya motivasi semata-mata ingin
mendapat pujian dari manusia atas apa yang dilakukannya.
Namun menyembunyikan amal tidak identik dengan ikhlas, karena ikhlas
bukanlah soal teknis menampakkan atau menyembunyikan.
Ikhlas adalah dorongan yang kuat dalam jiwa, yang menjadi sumber motivasi
dalam melakukan sebuah amal atau dalam meninggalkan
amal tersebut.
Sebagian
ulama salaf menyatakan, “Beramal karena manusia itu
syirik, sedangkan meninggalkan amal karena manusia itu
riya”. Ini menandakan bahwa ikhlas itu bermakna
dorongan yang menyebabkan melakukan atau meninggalkan
suatu amal semata-mata karena Allah, apakah amal
itu ditampakkan atau disembunyikan.
3. Keharusan
bekerja dengan ikhlas
Semua
aktivitas yang kita lakukan hendaknya didasari dengan niat
yang ikhlas karena mengharap
ridha dan pahala dari Allah, bukan dari
manusia. Cukuplah kita yakin, bahwa semua
yang kita lakukan berada dalam
pengawasan dan pengetahuan Allah,
sebagimana firmanNya, “dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
Syaikh Hasan
Al Bana menegaskan, “Yang dimaksud dengan ikhlas
ialah seorang muslim menunjukkan segala perkataan,
amal dan jihadnya semata-mata mencari ridha Allah
dan ganjaran baik-Nya, tidak memandang keuntungan
duniawi, kedudukan, pangkat, gelar, dan semacamnya.
Karena itu ia akan menjadi manusia pembela
cita-cita dan aqidah, bukan kepentingan (interest)
pribadi.”
4. Menampakkan
amal tidak menghilangkan keikhlasan
Kebolehan
menampakkan sedekah ini menandakan, amal yang
ditampakkan tidak berarti menghilangkan
nilai keikhlasan atau merusakkannya.
Yang membuat rusaknya amal adalah sikap
riya dan mengharap keridhaan manusia
dengan jalan memamerkan berbagai aktivitas
kebaikan. Berbangga-bangga dengan pujian manusia dan
melalaikan hakikat niat yang tulus ikhlas mengharap
ridha Allah.
Sebagaimana
telah dinyatakan di depan, bahwa menyembunyikan
amal itu tidak identik dengan ikhlas, maka
menampakkan amal juga tidak identik dengan riya atau tidak
ikhlas. Dengan demikian, jika publisitas adalah upaya untuk
memberikan informasi yang positif, memberikan
inspirasi kebaikan, memberikan motivasi beramal
salih, dan memberikan pencitraan positif bagi dakwah, maka
hal itu adalah sebuah keharusan.
Wallahu a’lam
bish shawab.
0 Response to "Membangun Pencitraan Da’wah "
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"