Oleh
: Mosleem Hijau Langit Full
Bulan Muharram adalah termasuk satu dari empat bulan yang di muliakan oleh Allah.
selain menyimpan peristiwa-peristiwa penting yang di alami oleh para utusan Tuhan, di dalam bulan ini juga terekam momen bersejarah yang merubah watak dunia hingga saat ini.
adalah peristiwa Hijrah sebagai peristiwa maha dahsyat sepanjang sejarah peradaban manusia di jagat ini.
Peristiwa di mana kebenaran di pertaruhkan, keimanan di uji, keberanian di pertontonkan, emosi di kesampingkan.
Peristiwa yang tidak saja mengandalkan naluri kenabian, tetapi juga mencurahkan seluruh kecerdasan seorang Muhammad SAW.
Hijrah bukan hanya sekedar " perpindahan tempat " dari Mekkah ke Madinah, tetapi lebih jauhnya adalah kontrak politik antara Muhammad SAW dalam kapasitasnya sebagai seorang nabi dan sekaligus seorang Muhajjir di sisi lain, dengan penduduk Madinah sebagai kaum Anshar di lain sisi.
Kontrak politik dengan tauhid sebagai sandarannya melahirkan manifesto politik yang mengikat seluruh penduduk Madinah, tidak terkecuali dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Manifesto politik yang kita kenal saat ini dengan PIAGAM MADINAH berhasil mengintegrasikan seluruh masyarakat Madinah baik kaum Muhajjir dan kaum Anshar dengan Muhammad SAW sebagai pemimpinnya.
Hijrah pada fase ini telah berhasil melahirkan seorang sosok pemimpin politik baru di jazirah arab, dialah Rasulullah SAW.
Namun, bulan Muharram yang menyimpan momen bersejarah yang terjadi 14 abad yang silam tersebut kini di reduksi sedemikian rupa sehingga hanya menjadi bulan yang di jejali dengan berbagai macam dogma yang sarat dengan nuansa mistis.
bahkan peristiwa Hijrah yang seharusnya menjadi momentum bagi proses rekonstruksi ummat menuju ke arah perbaikan, dewasa ini mengalami desakralisasi yang amat parah.
Peristiwa Hijrah sebagai sebuah proyek Ilahiyah, di mana tiga dimensi berdiri dalam satu titik ordinasi yaitu : Alam semesta (realitas obyektif), Allah (sebagai realitas suyektif) dan manusia sebagai pelaku sejarah, dewasa ini mengalami pendangkalan makna yang tidak berimplikasi apapun terhadap perbaikan ummat secara kolektif.
Dua term ini yang akan menjadi pembahasan dalam kesempatan artikel kali ini.
MISTISISASI MUHARRAM
dalam literstur sejarah Islam, ada banyak mperitiwa penting yang di alami oleh para Nabiyullah yang terjadi di bulan Muharram ini.
Di antaranya adalah : Terbebasnya Nabi Yunus dari cengkeraman ikan paus setelah " mengendap " di dalam perut ikan tersebut selama berhari-hari lamanya serta terbebasnya Nabi Ibrahim dari jilatan api yang menggunung dan lain-lain.
Dalam Islam, Muharram merupakan satu dari empat bulan yang di sakralkan.
Tiga bulan lainnya yaitu : Rajab, Ramadhan, Dzulhijah.
Sakralitas ini pernah di kemukakan oleh Rasulullah dengan bersabda yang intinya bahwa : " Di haramkan mengadakan peperangan di empat bulan tersebut " (HR.BUKHARI).
Karena memiliki kualitas historis yang sangat dalam, sehingga literstur Islam bullan ini di kenal dengan nama " Muhasabatun Nafsi ".
Penggelaran nama ini tentu bukan saja mensimbolkan betapa dalam bobot sejarah yang di kandung di dalamnya oleh bulan tersebut, namun jga memberi pesan teologis kepada ummat Islam khususnya bahwa semestinya bulan tersebut di jadikan sebagai bulan re-evaluasi (muhasabah) serta rekonstruksi (ishlah) bagi lemahnya kualitas nilai dan rapuhnya sistem persatuan ummat Islam baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun masyarakat.
Tidak salah jika kita meletakkan Muharram sebagai momentum strategis bagi bangkitnya bangsa dan negeri ini khususnya ummat Islam dari keterpurukan.
Landasan sejarah menjadi argumentasi historis yang dapat kita jadikan acuan.
Namun, realitas sosial ummat Islam dalam menterjemahkan makna Muharram belum memasuki ruang subtansial.
semestinya makna Muharram di terjemahkan secara fundamental, yaitu sebagai momentum perubahan.
Bukan di terjemahkan secara kultural yang akan melahirkan distorsi makna.
Jika makna Muharram di terjemahkan secara kultural, maka Muharram hanya menjadi bulan yang menempati ruang tradisi yang hanya memperkaya khazanah kebudayaan Islam.
Distorsi makna Muharram dewasa ini menjadi fenomena tang tak terelakkan pada setiap pergantian tahun baru Islam.
Pada tingakat ekstrim distorsi makna ini menjadi paradigma yang membatu, menyeruak ke dalam ruang dogma.
Adanya pergeseran makna Muharram di kalangan ummat Islam dari PARADIGMA HISTORIS IDEOLOGIS menjadi PARADIGMA TEOLOGIS DOGMATIS pada gilirannya akan melahirkan budaya-budaya yang tidak NYUNAH dalam memaknai Muharram, sebuah perilaku yang keluar dari rel sejarah dan subtansi Muharram.
Perilaku tidak NYUNAH ini di karenakan adanya pembauran antara paradigma ummat tentang Muharram yang lebih bertendensi teologis dogmatis dengan tradisi lokalistik.
Pembauran yang pada dasarnya merupakan hasil interpretasi terhadap makna Muharram pada gilirannya menemukan bentuknya pada ruang budaya lokal yang cenderung lebih bersifat mistis.
Pada fase ini, ummat Islam perlu melakukan klarifikasi historis terhadap makna Muharram, jika tidak ingin terkungkung oleh dogma yang berkepanjangan.
Pertama : Ummat Islam harus cerdas dalam membedakan mana budaya luar, budaya Islam dan budaya lokal.
Ini menjadi perlu karena proses akulturasi budaya dalam bingkai kacamata sosial menjadi sesuatu yang tidak mungkin terhindarkan.
Kedua : Ummat Islam harus cerdas dalam melakukan pembongkaran terhadap makna Muharram itu sendiri yang sudah lama membatu, membius ummat Islam sehingga Muharram tidak hanya meramaikan ruang-ruang ceremonial belaka.
Upaya ini di lakukan dalam rangka mengembalikan Muharram pada posisi semula, sebagai bulan pembebas bagi pribadi-pribadi yang tertindas serta sebagai bulan pencerahan bagi pribadi-pribadi yang terbodohkan.
DESAKRALISASI HIJRAH
Fenomena di atas merupakan aktivitas rutin yang menjadi acara ceremonial tahunan.
Hijrah hanya di terjemahkan ke dalam bentuk peringatan ceremonial yang tidak berimplikasi secara signifikan terhadap perbaikan nilai, moralitas dan keshalihan sosial yang dewasa ini terasa langka di negeri ini.
Hijrah yang merupakan bangunan konseptual mengalami reduksi dan desakralisasi makna yang sangat jauh.
Seyogyanya Hijrah di jadikan sebagai warisan terbesar peradaban ummat manusia.
Seharusnya konsepsi Hijrah dapat di jadikan sebagai sandaran teologis yang lebih elaboratif dan interpretatif sehingga menjadi konsep yang formulatif untuk membangun bangsa dan negeri ini yang sedang terpuruk.
Sehingga Hijrah bukan hanya sebatas gagasan yang menempati ruang yang kosong.
Semestinya gagasan Hijrah yang di pelopori oleh sang pembawa perubahan, Nabi Muhammad SAW di jadikan sebagai parameter sejarah yang harus di lalui demi terciptanya sebuah tatanan sosial yang ideal yaitu tatanan masyarakat yang berdiri di atas prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraa.
Dewasa ini gagasan Hijrah baik secara konseptual maupun sebagai tindakan historis belum menjadi fenomena sosial yang konkrit.
Untuk memerankan kembali gagasan Hijrah, di perlukan beberapa interpretasi berikut :
Pertama : Secara subyektif, Hijrah adalah konsep pembebasan, pembersihan diri dari suatu pandangan dunia, keyakinan keagamaan, perilaku individu yang membuat individu-individu teralienasi dari jati diri sejatinya (fitrah) dan masyarakat.
Adapaun secara obyektif, Hijrah adalah membebaskan masyarakat dari realitas kekuasaan yang dzalim, tirani yang menindas, memecah belah, jahat baik secara ekonomi, sosial maupun secara politik.
Kedua : adalah mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis.
Selama ini di sadari atau tidak, pemahaman kita mengenai kisah-kisah yang termaktub di dalam Al-Qur'an cenderung sangat bersifat a-historis.
Padahal maksud Al-qur'an menceritakan kisah-kisah itu justru agar kita berfikir historis.
Sebagai contoh : pemahaman kita tentang Hijrah hanya kita pahami pada konteks Nabi Muhammad SAW saja.
Kita tidak pernah berfikir bahwa gagasan hijrah sesungguhnya signifikan di setiap kurun waktu.
Hijrah tidak tersekat oleh ruang dan waktu.
Pada setiap sistem sosial yang timpang, Hijrah senantiasa relevan dan kontekstual di setiap waktu.
Ketika Hijrah sudah di pahami sebagai sesuatu yang relevan, maka ia dapat di jadikan sebagai sebuah alat untuk meneropong realitas dunia, awal dan akhirnya, unsur-unsur yang berpengaruh di dalamnya, sumber-sumber kekuatannya serta nasib kehidupan ummat manusia.
denagn kata lain, ia menjadi semacam pandangan hidup yang tidak hanya sebagai unsur yang memotivasi tindakan dan perkembangan sejarah dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu, ia menjadi unsur paling utama yang emnimbulkan motivasi dan evolusi itu sendiri.
Pandangan hidup selalu berperan besar dalam mengarahkan, pembangkit energi, pemelihara visi serta parameter aksi.
WALLAHU'ALAM...
Bulan Muharram adalah termasuk satu dari empat bulan yang di muliakan oleh Allah.
selain menyimpan peristiwa-peristiwa penting yang di alami oleh para utusan Tuhan, di dalam bulan ini juga terekam momen bersejarah yang merubah watak dunia hingga saat ini.
adalah peristiwa Hijrah sebagai peristiwa maha dahsyat sepanjang sejarah peradaban manusia di jagat ini.
Peristiwa di mana kebenaran di pertaruhkan, keimanan di uji, keberanian di pertontonkan, emosi di kesampingkan.
Peristiwa yang tidak saja mengandalkan naluri kenabian, tetapi juga mencurahkan seluruh kecerdasan seorang Muhammad SAW.
Hijrah bukan hanya sekedar " perpindahan tempat " dari Mekkah ke Madinah, tetapi lebih jauhnya adalah kontrak politik antara Muhammad SAW dalam kapasitasnya sebagai seorang nabi dan sekaligus seorang Muhajjir di sisi lain, dengan penduduk Madinah sebagai kaum Anshar di lain sisi.
Kontrak politik dengan tauhid sebagai sandarannya melahirkan manifesto politik yang mengikat seluruh penduduk Madinah, tidak terkecuali dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Manifesto politik yang kita kenal saat ini dengan PIAGAM MADINAH berhasil mengintegrasikan seluruh masyarakat Madinah baik kaum Muhajjir dan kaum Anshar dengan Muhammad SAW sebagai pemimpinnya.
Hijrah pada fase ini telah berhasil melahirkan seorang sosok pemimpin politik baru di jazirah arab, dialah Rasulullah SAW.
Namun, bulan Muharram yang menyimpan momen bersejarah yang terjadi 14 abad yang silam tersebut kini di reduksi sedemikian rupa sehingga hanya menjadi bulan yang di jejali dengan berbagai macam dogma yang sarat dengan nuansa mistis.
bahkan peristiwa Hijrah yang seharusnya menjadi momentum bagi proses rekonstruksi ummat menuju ke arah perbaikan, dewasa ini mengalami desakralisasi yang amat parah.
Peristiwa Hijrah sebagai sebuah proyek Ilahiyah, di mana tiga dimensi berdiri dalam satu titik ordinasi yaitu : Alam semesta (realitas obyektif), Allah (sebagai realitas suyektif) dan manusia sebagai pelaku sejarah, dewasa ini mengalami pendangkalan makna yang tidak berimplikasi apapun terhadap perbaikan ummat secara kolektif.
Dua term ini yang akan menjadi pembahasan dalam kesempatan artikel kali ini.
MISTISISASI MUHARRAM
dalam literstur sejarah Islam, ada banyak mperitiwa penting yang di alami oleh para Nabiyullah yang terjadi di bulan Muharram ini.
Di antaranya adalah : Terbebasnya Nabi Yunus dari cengkeraman ikan paus setelah " mengendap " di dalam perut ikan tersebut selama berhari-hari lamanya serta terbebasnya Nabi Ibrahim dari jilatan api yang menggunung dan lain-lain.
Dalam Islam, Muharram merupakan satu dari empat bulan yang di sakralkan.
Tiga bulan lainnya yaitu : Rajab, Ramadhan, Dzulhijah.
Sakralitas ini pernah di kemukakan oleh Rasulullah dengan bersabda yang intinya bahwa : " Di haramkan mengadakan peperangan di empat bulan tersebut " (HR.BUKHARI).
Karena memiliki kualitas historis yang sangat dalam, sehingga literstur Islam bullan ini di kenal dengan nama " Muhasabatun Nafsi ".
Penggelaran nama ini tentu bukan saja mensimbolkan betapa dalam bobot sejarah yang di kandung di dalamnya oleh bulan tersebut, namun jga memberi pesan teologis kepada ummat Islam khususnya bahwa semestinya bulan tersebut di jadikan sebagai bulan re-evaluasi (muhasabah) serta rekonstruksi (ishlah) bagi lemahnya kualitas nilai dan rapuhnya sistem persatuan ummat Islam baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun masyarakat.
Tidak salah jika kita meletakkan Muharram sebagai momentum strategis bagi bangkitnya bangsa dan negeri ini khususnya ummat Islam dari keterpurukan.
Landasan sejarah menjadi argumentasi historis yang dapat kita jadikan acuan.
Namun, realitas sosial ummat Islam dalam menterjemahkan makna Muharram belum memasuki ruang subtansial.
semestinya makna Muharram di terjemahkan secara fundamental, yaitu sebagai momentum perubahan.
Bukan di terjemahkan secara kultural yang akan melahirkan distorsi makna.
Jika makna Muharram di terjemahkan secara kultural, maka Muharram hanya menjadi bulan yang menempati ruang tradisi yang hanya memperkaya khazanah kebudayaan Islam.
Distorsi makna Muharram dewasa ini menjadi fenomena tang tak terelakkan pada setiap pergantian tahun baru Islam.
Pada tingakat ekstrim distorsi makna ini menjadi paradigma yang membatu, menyeruak ke dalam ruang dogma.
Adanya pergeseran makna Muharram di kalangan ummat Islam dari PARADIGMA HISTORIS IDEOLOGIS menjadi PARADIGMA TEOLOGIS DOGMATIS pada gilirannya akan melahirkan budaya-budaya yang tidak NYUNAH dalam memaknai Muharram, sebuah perilaku yang keluar dari rel sejarah dan subtansi Muharram.
Perilaku tidak NYUNAH ini di karenakan adanya pembauran antara paradigma ummat tentang Muharram yang lebih bertendensi teologis dogmatis dengan tradisi lokalistik.
Pembauran yang pada dasarnya merupakan hasil interpretasi terhadap makna Muharram pada gilirannya menemukan bentuknya pada ruang budaya lokal yang cenderung lebih bersifat mistis.
Pada fase ini, ummat Islam perlu melakukan klarifikasi historis terhadap makna Muharram, jika tidak ingin terkungkung oleh dogma yang berkepanjangan.
Pertama : Ummat Islam harus cerdas dalam membedakan mana budaya luar, budaya Islam dan budaya lokal.
Ini menjadi perlu karena proses akulturasi budaya dalam bingkai kacamata sosial menjadi sesuatu yang tidak mungkin terhindarkan.
Kedua : Ummat Islam harus cerdas dalam melakukan pembongkaran terhadap makna Muharram itu sendiri yang sudah lama membatu, membius ummat Islam sehingga Muharram tidak hanya meramaikan ruang-ruang ceremonial belaka.
Upaya ini di lakukan dalam rangka mengembalikan Muharram pada posisi semula, sebagai bulan pembebas bagi pribadi-pribadi yang tertindas serta sebagai bulan pencerahan bagi pribadi-pribadi yang terbodohkan.
DESAKRALISASI HIJRAH
Fenomena di atas merupakan aktivitas rutin yang menjadi acara ceremonial tahunan.
Hijrah hanya di terjemahkan ke dalam bentuk peringatan ceremonial yang tidak berimplikasi secara signifikan terhadap perbaikan nilai, moralitas dan keshalihan sosial yang dewasa ini terasa langka di negeri ini.
Hijrah yang merupakan bangunan konseptual mengalami reduksi dan desakralisasi makna yang sangat jauh.
Seyogyanya Hijrah di jadikan sebagai warisan terbesar peradaban ummat manusia.
Seharusnya konsepsi Hijrah dapat di jadikan sebagai sandaran teologis yang lebih elaboratif dan interpretatif sehingga menjadi konsep yang formulatif untuk membangun bangsa dan negeri ini yang sedang terpuruk.
Sehingga Hijrah bukan hanya sebatas gagasan yang menempati ruang yang kosong.
Semestinya gagasan Hijrah yang di pelopori oleh sang pembawa perubahan, Nabi Muhammad SAW di jadikan sebagai parameter sejarah yang harus di lalui demi terciptanya sebuah tatanan sosial yang ideal yaitu tatanan masyarakat yang berdiri di atas prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraa.
Dewasa ini gagasan Hijrah baik secara konseptual maupun sebagai tindakan historis belum menjadi fenomena sosial yang konkrit.
Untuk memerankan kembali gagasan Hijrah, di perlukan beberapa interpretasi berikut :
Pertama : Secara subyektif, Hijrah adalah konsep pembebasan, pembersihan diri dari suatu pandangan dunia, keyakinan keagamaan, perilaku individu yang membuat individu-individu teralienasi dari jati diri sejatinya (fitrah) dan masyarakat.
Adapaun secara obyektif, Hijrah adalah membebaskan masyarakat dari realitas kekuasaan yang dzalim, tirani yang menindas, memecah belah, jahat baik secara ekonomi, sosial maupun secara politik.
Kedua : adalah mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis.
Selama ini di sadari atau tidak, pemahaman kita mengenai kisah-kisah yang termaktub di dalam Al-Qur'an cenderung sangat bersifat a-historis.
Padahal maksud Al-qur'an menceritakan kisah-kisah itu justru agar kita berfikir historis.
Sebagai contoh : pemahaman kita tentang Hijrah hanya kita pahami pada konteks Nabi Muhammad SAW saja.
Kita tidak pernah berfikir bahwa gagasan hijrah sesungguhnya signifikan di setiap kurun waktu.
Hijrah tidak tersekat oleh ruang dan waktu.
Pada setiap sistem sosial yang timpang, Hijrah senantiasa relevan dan kontekstual di setiap waktu.
Ketika Hijrah sudah di pahami sebagai sesuatu yang relevan, maka ia dapat di jadikan sebagai sebuah alat untuk meneropong realitas dunia, awal dan akhirnya, unsur-unsur yang berpengaruh di dalamnya, sumber-sumber kekuatannya serta nasib kehidupan ummat manusia.
denagn kata lain, ia menjadi semacam pandangan hidup yang tidak hanya sebagai unsur yang memotivasi tindakan dan perkembangan sejarah dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu, ia menjadi unsur paling utama yang emnimbulkan motivasi dan evolusi itu sendiri.
Pandangan hidup selalu berperan besar dalam mengarahkan, pembangkit energi, pemelihara visi serta parameter aksi.
WALLAHU'ALAM...
0 Response to "MISTISISASI MUHARRAM DAN DESAKRALISASI HIJRAH"
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"