Hassan Al Banna dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1906 di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir. Pada usia 12 tahun, Hasan Al Banna telah menghafal al-Qur'an. Ia adalah seorang mujahid dakwah, peletak dasar-dasar gerakan Islam sekaligus sebagai pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin). Ia memperjuangkan Islam menurut Al-Quran dan Sunnah hingga dibunuh oleh penembak misterius yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai penembak 'titipan' pemerintah pada 12 Februari 1949 di Kairo. Kepergian Hasan Al Banna pun menjadi duka berkepanjangan bagi umat Islam. Ia mewariskan 2 karya monumentalnya, yaitu Catatan Harian Dakwah dan Da'i serta Kumpulan Surat-surat. Selain itu Hasan Al Banna mewariskan semangat dan teladan dakwah bagi seluruh aktivis dakwah saat ini.
LIKE FATHER, LIKE SON (1)
“Siapa yang menjaminmu hidup sampai setelah waktu zuhur?”
pertanyaan itu terlontar dari mulut seorang pemuda kepada khalifah Umar bin
Abdul Aziz, tokoh pemimpin bergelar khulafa rasyidin yang kelima. Ketika itu,
khalifah yang terkenal keadilannya itu sangat tersentak dengan perkataan sang
pemuda. Terlebih saat itu, ia tengah merebahkan diri beristirahat usai
menguburkan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Malik.
Tapi baru saja ia merebahkan badannya, seorang pemuda
berusia tujuh belasan tahun datang menghampirinya dan mengatakan, “Apa yang
ingin engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?” Khalifah Umar bin Abdul Aziz
menjawab, “Biarkan aku tidur barang sejenak. Aku sangat lelah dan capai
sehingga nyaris tak ada kekuatan yang tersisa. “Namun pemuda itu tampak tak puas
dengan jawaban tersebut. Ia bertanya lagi, “Apakah engkau akan tidur sebelum
mengembalikan barang yang diambil secara paksa kepada pemiliknya, wahai Amirul
Mukminin? Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengatakan, “Jika tiba waktu zuhur, saya
bersama orang-orang akan mengembalikan barang-barang tersebut kepada
pemiliknya.” Jawaban itulah yang kemudian ditanggapi oleh sang pemuda, “Siapa
yang menjaminmu hidup sampai setelah zuhur, wahai Amirul Mukminun?”
Pemuda itu bernama Abdul Aziz. Ia, putera Amirul Mukminun
sendiri, Umar bin Abdul Aziz. Semoga Allah merahmati keduanya.
LIKE FATHER, LIKE SON (2)
Seorang lelaki datang menghadap Amirul Mukminun, Umar bin
Khattab radhiallahu anhu. Ia melaporkan kepada Rasulullah tentang kedurhakaan
anaknya. Khalifah Umar lantas memanggil anak yang dikatakan durhaka itu dan
mengingatkannya terhadap bahaya durhaka pada orang tua. Saat ditanya sebab
kedurhakaannya, anak itu mengatakan
“Wahai Amirul Mukminin tidakkah seorang anak mempunyai
hak yang harus ditunaikan oleh orang tuanya?” “Ya” jawab Khalifah. “Apakah
itu?” tanya anak itu. Khalifah menjawab. “Ayah wajib memilihkan ibu yang baik
buat anak-anaknya, memberi nama yang baik dan mengajarinya Al Qur’an.” Lantas
sang anak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin. Tidak satupun dari tiga perkara itu
yang ditunaikan ayahku. Ibuku Majusi, namaku Ja’lan, dan aku tidak pernah
diajarkan membaca Al Qur’an.
Umar bin Khatab menoleh kepada ayah dari anak itu dan
mengatakan, “Anda datang mengadukan kedurhakaan anakmu, ternyata Anda telah
mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu. Anda telah berlaku tidak baik terhadapnya sebelum ia berlaku tidak
baik terhadap Anda.”
SIAPA AKTOR PENTING DI BALIK PROSES PEMBINAAN KETOKOHAN
HASAN AL BANNA?
Imam Hasan Al Banna dilahirkan dalam keluarga yang hidup
dalam keadaan serba sederhana, dengan mengamalkan Islam di segenap sudut
kehidupan mereka. Ayahnya adalah alumni Universitas Al Azhar dan mendalami
Hadist dan ilmu Fiqh. Imam Hasan Al Banna menerima pendidikan agama dari
ayahnya, sebagaimana dituliskan oleh adiknya, Abdur-Rahman Al Banna berikut
ini:
“Kakakku ketika engkau berumur sembilan tahun, aku baru
berumur tujuh tahun. Kita mengaji Al Qur’an dan belajar menulis di sekolah.
Jika engkau mampu menghafal dua pertiga Al Qur’an, aku mampu menghafal sehingga
surah At Taubah. Ketika kita pulang dari sekolah, ayah menyambut dengan penuh
kasih sayang. Ayah yang mengajar kitab sirah (riwayat hidup) Rasulullah
SAW, ilmu Fiqh dan nahwu. Ayah menyediakan jadwal pengajian kita di rumah.
Engkau belajar ilmu Fiqh Imam Abu Hanifah ketika aku belajar ilmu Fiqh Imam
Malik. Di segi ilmu nahwu, engkau belajar kitab ‘Alfiyah’ dan aku
belajar kitab ‘Malhamatul Arab’. Kita mengulang pelajaran bersama-sama
dan bekerja keras.
“Duhai kakakku, dalam hidupku, tidak pernah aku melihat
orang yang begitu banyak berpuasa dan shalat sepertimu. Engkau bangun waktu sahur dan shalat. Kemudian
engkau membangunkanku untuk melakukan shalat shubuh. Selepas shalat, engkau
membaca jadwal kegiatan harian. Suaramu yang indah dan mencerminkan kasih itu
menggema di telingaku. Engkau pernah berkata. “Pukul enam pagi adalah waktu
masa mengaji Al Qur’an; pukul tujuh adalah waktu belajar tafsir Al Qur’an dan
Hadist; pukul delapan waktu belajar Fiqh dan Usul Fiqh.” Itulah agenda harian
rumah kita. Selanjutnya kita pun pergi ke sekolah. Ada banyak buku di dalam
perpustakaan ayah. Kita telah bersama-sama meneliti buku-buku itu. Nama
buku-buku itu tersebut dicetak dengan huruf-huruf berwarna emas. Kadang kita
meneliti kitab ’Nisapur’, kitab ‘Qustalani’, da kitab ‘Nail
Al-Authar’. Ayah bukan hanya mengizinkan kita membaca kitab-kitab itu, tapi
bahkan mendorong kita untuk membaca. Engkau selalu lebih baik dariku dalam hal
ini.”
Aku mencpba mengikuti jejak langkahmu tetapi aku tidak
mampu. Engkau seorang yang luar biasa. Walaupun perbedaan umur kita hanya dua
tahun, tetapi Allah telah memberimu kapasitas yang luar biasa. Ayah selalu
mengadakan majelis-majelis diskusi ilmiah. Kita kerap mengikutinya dengan
teliti kajian ilmiah antara beliau dengan para ulama yang lain. Majelis-majelis
tersebut dihadiri oleh Syeikh Muhammad Zahran dan Hamid Muhsin. Pernah kita
mendengar pembahasan mereka mengenai ’Arasy Allah’ di langit. Di antaranya
adalah, apakah ‘Istiwa’ bermaksud duduk atau tinggal? Apakah pendapat Imam
Ghazali dalam hal ini? Apa pula kata Zamakshari mengenai hal ini? Apakah
tafsiran Imam Malik bin Anas? Kita mendengar pembahasan itu dengan serius.
Semua yang kta pahami terekam dalam ingatan. Segala masalah dan perkara yang
sukar dipahami, kita tanyakan pada ayah ataupun kita rujuk kepada kitab-kitab
tafsir dan As Sunnah.
Siapakah di balik proses ketokohan Hasan Al Banna?
“AKU INGIN MENYAMPAIKAN DAKWAH INI SAMPAI KEPADA JANIN DI
PERUT IBUNYA (HASAN AL BANNA)”
Ayah merupakan sosok penting dalam bangunan umat. Dalam
sebuah keluarga, kedudukan ayah adalah salah satu batu bata yang menopang
bangunan umat Islam. Jika para ayah berhasil menunaikan misinya dalam keluarga,
akan kokohlah bangunan umat Islam di berbagai bidang kehidupan. Sebaliknya,
sikap abai para ayah dalam menjalani misinya di dalam keluarga akan menyebabkan
lemah rapuhnya bangunan umat ini.
Ada banyak peran ayah dalam Islam yang harus ditunaikan
dengan benar sebagaimana hadist Rasulullah SAW, “Setiap kalian adalah pemimpin
yang bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang amir adalah pemimpin atas
rakyatnya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki
adalah pemimpin di keluarganya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.
Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya dan ia
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba sahaya adalah
pemimpin atas harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang
dipimpinnya.” (HR Bukhari dari Hadist Nafi’ bin Umar radhiallahu anhuma).
Ayah
yang menunaikan kewajibannya, berarti ia telah terbebas dari tanggung jawabnya
di hadapan Allah SWT di hari kiamat. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang
yang beriman, lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Di sana ada malaikat yang kasar dan
keras, tidak melanggar perintah Allah kepada mereka dan mereka melakukan apa
yang diperintahkan.” (QS At Tahrim : 6)
Lembar-lembar
berikut ini akan diuraikan sosok Hasan Al Banna. Seorang pemimpin dakwah,
seorang pembina kader ummat, sekaligus seorang ayah dalam keluarga. Hasan Al
Banna bahkan berperan dalam membina anak-anak di seluruh dunia ini. Dialah yang
melontarkan kalimat-kalimat emasnya yang berbunyi “Aku ingin sekali
menyampaikan dakwah ini sampai kepada janin yang ada di dalam perut ibu
mereka.”
(Bersambung....)
0 Response to "CINTA di Rumah HASAN AL BANNA (Bagian 1)"
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"