MARI BERTAMU KE RUMAH HASAN AL BANNA
Al Banna rahimahullah
di rumahnya, adalah ayah yang kebaikannya begitu mengesankan anggota keluarga.
Ia memberi contoh yang agung dalam penunaian misi seorang ayah yang berhasil.
Ungkapan-ungkapan kekaguman terhadap Al Banna tertuang dalam ragam kalimat
indah. Ia teladan praktis, hati yang penuh tanggung jawab, pemimpin yang
mengayomi, gelombang rindu dan kasih sayang, cahaya kebaikan, mata air
pemberian, sumber kedermawanan dan kemurahan, uluran kasih sayang dan
ketegasan, pemimpin penuh disiplin yang diiringi cinta, mata yang tak terpejam
untuk terus mengejar keberhasilan dalam perbaikan.
Kita banyak
mendengar teori-teori pendidikan yang disampaikan para dosen ilmu pendidikan
ataupun para pengamat pendidikan anak. Tapi sejujurnya, kita tidak bisa menutup
mata bila nyatanya, praktik keseharian yang mereka jalani dalam kehidupannya
justru menyingkap banyak kesenjangan dengan teori dan pandangannya soal
pendidikan.
Hasan Al
Banna menerapkan teori pendidikan dan pembinaan yang diserukannya dengan sangat
baik di dalam keluarganya. Antara perkataan dan realitas hidupnya, menyuarakan
satu hal yang sama. Mari kita ikuti rangkaian tulisan yang dirangkum dari
sejumlah dialog dan tanya jawab dengan anak-anak Imam Hasan Al Banna
rahimahullah :
Kenalkan, Mereka adalah Anak-Anak Hasan Al Banna
Sebagaimana Al
Banna rahimahullah berhasil menjalankan misi besar dakwahnya hingga menyebar
dari lokasi terpencil hingga negara besar, Al Banna juga berhasil dalam
membangun keluarga yang istimewa. Keluarga Al Banna telah dibina atas dasar
keimanan kepada Allah SWT dan keistimewaan dalam kehidupan, lalu penerapannya
dalam prinsip tarbiyah yang benar. Al Banna menyodorkan contoh langsung yang
unik dalam peran seorang ayah terhadap pendidikan anak-anaknya.
Mari kita
lihat terlebih dahulu komposisi keluarga Imam Hasan Al Banna rahimahullah. Al
Banna dikaruniai enam orang anak, terdiri dari satu orang anak laki-laki dan
lima orang anak perempuan. Urutannya seperti ini:
a. Wafa
: Adalah anak perempuannya yang paling besar, sekaligus istri dari seorang dai
terkenal yakni Sa’ad ramadhan rahimahullah. Saat Al Banna wafat, ia sudah
berusia 17 tahun.
b.
Ahmad Saiful Islam : Seorang advokat
sekaligus sekjen Aliansi Advokat Mesir dan mantan anggota parlemen Mesir.
Dilahirkan tanggal 22 November 1934. Berhasil memperoleh gelar sarjana di
bidang HAM tahun 1956, dan Darul Ulum 1957. Usianya baru 14 tahun, dua bulan,
dua puluh hari saat Al Banna wafat.
c. Dr. Tsana
: Dosen Urusan Pengaturan Rumah Tangga, mengajar di sejumlah universitas di
Saudi Arabia, Ia masih 11 tahun saat Al Banna meninggal.
d. Ir. Roja’ : Ketika Al Banna wafat, usianya sekitar
lima setengah tahun.
e. Dr.
Halah : Dosen kedokteran anak di Universitas Al Azhar. Usianya baru dua tahun
lebih saat Al Banna meninggal.
f. Dr.
Istisyhad : Dosen Ekonomi Islam. Ia masih berupa janin di perut ibunya saat Al
Banna menghembuskan nafas terakhirnya. Semula, menurut analisa dokter, ia harus
digugurkan dari kandungan mengingat sakit yang diderita sang ibu dan bahaya
kehamilan yang bisa mengancam kehidupan sang ibu. Para medis telah menetapkan
itu pada 12 Februari bertepatan dengan hari wafatnya Imam Hasan Al Banna. Tapi
Allah SWT berkehendak lain. Istisyhad tetap lahir dengan sehat. Dan karena
rangkaian peristiwa itulah ia dinamakan istisyhad yang berarti memburu mati
syahid.
Lantunan
Bacaan Al Qur’an Yang Menyejukkan Hati Ibu
Yang
dilakukan Al Banna sebagai tahap utama dalam membina dan anak-anak yang akan
menjadi keturunannya, dimulai sejak proses pemilihan perempuan yang
mendampinginya. Ustadz Mahmud Abdul Halim berkisah tentang pernikahan Al Banna:
“Di antara penduduk Ismailiyah yang cepat merespon dakwah yang disampaikan Al
Banna adalah sebuah keluarga terhormat yang disebut keluarga As Shauli. Mereka
umumnya para pedagang kelas menengah dan mempunyai sentimen agama yang baik
sehingga anak-anaknya terbina dalam lingkar agama yang baik. Ibu Al Banna suatu
ketika berkunjung ke rumah keluarga ini. Saat itu ia mendengar alunan suara
pembacaan Al Qur’an yang baik sekali. Ibu Al Banna bertanya, “Suara siapa itu?”
Pemilik rumah mengatakan, bahwa itu adalah suara fulanah yang sedang shalat.
Ketika Ibu Al Banna pulang ke rumah, ia pun memberitakan apa yang terjadi di
rumah keluarga tadi. Saat itulah Al Banna mulai terbetik bahwa wanita seperti
itulah yang layak menjadi pendamping hidupnya. Akhirnya Al Banna menikahi wanita
itu yang sekaligus menjadi ibu bagi anak-anaknya. Dialah istri yang mendampinginya saat lapang dan sempit,
sulit dan senang. Dialah penolong yang baik dalam dakwahnya, sampai akhirnya Al
Banna menyongsong kematian menemui Rabb-nya sebagai seorang yang dizalimi. (Al
Ikhwan Al Muslimun, Ahdast Shana’at Tariikh, Mahmud Abdul Halim, hal 68)
Diskusi Calon Mertua dan Calon Mantu
Anak Al
Banna, yang bernama Tsana, menyebutkan sejumlah sikap yang diinginkan neneknya
(ibunda Al Banna) dalam memilihkan istri untuk Al Banna. Dikatakannya, “Nenekku
rahimahullah pergi ke sejumlah rumah dari tokoh-tokoh Ismailiyah. Ketika itu
nenek simpatik dengan ibuku untuk dijodohkan dengan ayahku, karena nenek
melihat meskipun kondisi keluarga ibuku sangat sederhana tapi mereka mandiri
melakukan kebutuhannya bahkan mereka juga memasak untuk para pekerja yang ada.
Nenek lalu merasakan bahwa rumah keluarga ibuku adalah rumah orang yang
dermawan dan baik hati. Meskipun belum ada kesempatan untuk belajar, tetapi
kakekku mendatangkan seorang syaikh yang membacakan Al Qur’an setiap hari di
rumah. Lalu suatu ketika, setelah zuhur, syaikh mengaji ini mengajarkan Al
Qur’an untuk penghuni rumah yang perempuan dan mengajarkan fiqh. Karena itulah
ibuku bisa dikatakan orang yang cukup pandai tentang masalah fiqih. Orang tuaku
telah memilihkan istri yang baik dari tempat yang baik.....”
Selanjutnya
Tsana juga bertutur tentang kecintaan kakeknya kepada ibundanya dan bagaimana
perhatian yang diberikan kepada kasih sayangnya dengan ayahnya (Hasan Al
Banna). Tsana mengatakan: ”Kakek dari ibuku sangat menyukai ayahku. Ia kerap
berdiskusi dalam berbagai masalah sampai-sampai ketika ibuku ada yang ingin meminangnya
selain ayahu ketika itu, ia datang kepada kakekku dan memintanya untuk menemani
pula puterinya ke bioskop, kakekku bertanya kepada ayahku tentang hukumnya
menonton film di bioskop. Ayahku menerangkan bahwa itu haram. Setelah kakek
mengetahui orang tersebut meminta sesuatu yang dilarang maka kakek meminta
orang itu pergi dan mengatakan “Aku tidak punya puteri untuk dinikahkan olehmu”
“Ya Ummu Wafa, Istana Kita menanti di Surga”
Kondisi
keluarga jelas sangat menjamin perkembangan jiwa anak secara baik. Kondisi
keluarga yang penuh kasih sayang, penuh perhatian dan kepedulian akan
menyebabkan anggota keluarga saling hormat dan saling menghargai. Di antara
faktor penting untuk melakukan pemeliharaan yang benar adalah, adanya
lingkungan yang mendukung untuk tujuan pendidikan itu sendiri. Lingkungan akan
membantu sang anak lebih mudah memiliki perilaku yang baik. Perilaku Imam Hasan
Al Banna di rumah, interaksinya dengan istrinya, hubungannya dengan
anak-anaknya, itu semua mewakili lingkungan yang baik dan subur untuk
menghidupkan generasi yang shalih.
QS Al A’raf : 58
“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur
dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya
tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi
orang-orang yang bersyukur.”
Tsana,
puteri Al Banna, juga mengatakan, “Subhanallah, setelah aku berkeluarga, maka
ayahkulah yang menjadi contoh sangat baik dalam hal pengorbanan. Karenanya aku
sangat yakin sekali dengan dakwah yang disampaikan ayah. Ayah tidak perlu
banyak mengatakan apapun, tapi kecintaanku kepada dakwahnya begitu kuat sampai
setelah ayah wafat, para Ikhwan yang dibebaskan dari penjara datang kepada
keluarga kami mengucapkan salam. Umumnya mereka semua datang kepada kami dengan
selalu membawa makanan. Bahkan meskipun makanan itu berupa makanan yang belum
jadi seperti daging mentah, dan itu sangat membahagiakan ibu.”
Tsana
melanjutkan: “Ketika menginjakkan kaki ke Kairo, mereka menyewa sebuah kantor
untuk digunakan sebagai kantor pusat. Ketika itu, Ibu mengambil hampir semua
perabotan rumah untuk digunakan di kantor pusat. Ketika ayah membagun
sekretariat Ikhwanul Muslimun, beliau malah meminta ayah membawa sebagian besar
perabot rumah agar sekretariat menjadi lebih hidup. Ayahpun memboyong karpet,
gorden, meja-meja dan masih banyak lagi perabotan lain ke sekretriat dan ibu
justru sangat senang. Di rumah kami sendiri, tak ada ruang kecuali sedikit
sekali, termasuk sajadah dan gorden yang sebenarnya dibuat oleh Ibu sendiri.
Kami hanya menggunakan sedikit gorden dan untuk menutupi kamar, kami
menggunakan apa saja bahan yang bisa digunakan. Dengan pengorbanan itu, ibu
tampak tidak merasakan apa-apa dan sepertinya ia tidak memberikan apapun untuk
dakwah ini dari perabotan rumahnya.
Bersambung...
0 Response to "Cinta Di Rumah Hasan Al Banna (Bagian 2)"
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"