Cinta Di Rumah Hasan Al Banna (Bagian 2)


MARI BERTAMU KE RUMAH HASAN AL BANNA
        Al Banna rahimahullah di rumahnya, adalah ayah yang kebaikannya begitu mengesankan anggota keluarga. Ia memberi contoh yang agung dalam penunaian misi seorang ayah yang berhasil. Ungkapan-ungkapan kekaguman terhadap Al Banna tertuang dalam ragam kalimat indah. Ia teladan praktis, hati yang penuh tanggung jawab, pemimpin yang mengayomi, gelombang rindu dan kasih sayang, cahaya kebaikan, mata air pemberian, sumber kedermawanan dan kemurahan, uluran kasih sayang dan ketegasan, pemimpin penuh disiplin yang diiringi cinta, mata yang tak terpejam untuk terus mengejar keberhasilan dalam perbaikan.
        Kita banyak mendengar teori-teori pendidikan yang disampaikan para dosen ilmu pendidikan ataupun para pengamat pendidikan anak. Tapi sejujurnya, kita tidak bisa menutup mata bila nyatanya, praktik keseharian yang mereka jalani dalam kehidupannya justru menyingkap banyak kesenjangan dengan teori dan pandangannya soal pendidikan.
        Hasan Al Banna menerapkan teori pendidikan dan pembinaan yang diserukannya dengan sangat baik di dalam keluarganya. Antara perkataan dan realitas hidupnya, menyuarakan satu hal yang sama. Mari kita ikuti rangkaian tulisan yang dirangkum dari sejumlah dialog dan tanya jawab dengan anak-anak Imam Hasan Al Banna rahimahullah :

Kenalkan, Mereka adalah Anak-Anak Hasan Al Banna
        Sebagaimana Al Banna rahimahullah berhasil menjalankan misi besar dakwahnya hingga menyebar dari lokasi terpencil hingga negara besar, Al Banna juga berhasil dalam membangun keluarga yang istimewa. Keluarga Al Banna telah dibina atas dasar keimanan kepada Allah SWT dan keistimewaan dalam kehidupan, lalu penerapannya dalam prinsip tarbiyah yang benar. Al Banna menyodorkan contoh langsung yang unik dalam peran seorang ayah terhadap pendidikan anak-anaknya.
        Mari kita lihat terlebih dahulu komposisi keluarga Imam Hasan Al Banna rahimahullah. Al Banna dikaruniai enam orang anak, terdiri dari satu orang anak laki-laki dan lima orang anak perempuan. Urutannya seperti ini:
a. Wafa : Adalah anak perempuannya yang paling besar, sekaligus istri dari seorang dai terkenal yakni Sa’ad ramadhan rahimahullah. Saat Al Banna wafat, ia sudah berusia 17 tahun.
b. Ahmad Saiful Islam  : Seorang advokat sekaligus sekjen Aliansi Advokat Mesir dan mantan anggota parlemen Mesir. Dilahirkan tanggal 22 November 1934. Berhasil memperoleh gelar sarjana di bidang HAM tahun 1956, dan Darul Ulum 1957. Usianya baru 14 tahun, dua bulan, dua puluh hari saat Al Banna wafat.
c. Dr. Tsana : Dosen Urusan Pengaturan Rumah Tangga, mengajar di sejumlah universitas di Saudi Arabia, Ia masih 11 tahun saat Al Banna meninggal.
d. Ir. Roja’ : Ketika Al Banna wafat, usianya sekitar lima setengah tahun.
e. Dr. Halah : Dosen kedokteran anak di Universitas Al Azhar. Usianya baru dua tahun lebih saat Al Banna meninggal.
f. Dr. Istisyhad : Dosen Ekonomi Islam. Ia masih berupa janin di perut ibunya saat Al Banna menghembuskan nafas terakhirnya. Semula, menurut analisa dokter, ia harus digugurkan dari kandungan mengingat sakit yang diderita sang ibu dan bahaya kehamilan yang bisa mengancam kehidupan sang ibu. Para medis telah menetapkan itu pada 12 Februari bertepatan dengan hari wafatnya Imam Hasan Al Banna. Tapi Allah SWT berkehendak lain. Istisyhad tetap lahir dengan sehat. Dan karena rangkaian peristiwa itulah ia dinamakan istisyhad yang berarti memburu mati syahid.



Lantunan Bacaan Al Qur’an Yang Menyejukkan Hati Ibu
        Yang dilakukan Al Banna sebagai tahap utama dalam membina dan anak-anak yang akan menjadi keturunannya, dimulai sejak proses pemilihan perempuan yang mendampinginya. Ustadz Mahmud Abdul Halim berkisah tentang pernikahan Al Banna: “Di antara penduduk Ismailiyah yang cepat merespon dakwah yang disampaikan Al Banna adalah sebuah keluarga terhormat yang disebut keluarga As Shauli. Mereka umumnya para pedagang kelas menengah dan mempunyai sentimen agama yang baik sehingga anak-anaknya terbina dalam lingkar agama yang baik. Ibu Al Banna suatu ketika berkunjung ke rumah keluarga ini. Saat itu ia mendengar alunan suara pembacaan Al Qur’an yang baik sekali. Ibu Al Banna bertanya, “Suara siapa itu?” Pemilik rumah mengatakan, bahwa itu adalah suara fulanah yang sedang shalat. Ketika Ibu Al Banna pulang ke rumah, ia pun memberitakan apa yang terjadi di rumah keluarga tadi. Saat itulah Al Banna mulai terbetik bahwa wanita seperti itulah yang layak menjadi pendamping hidupnya. Akhirnya Al Banna menikahi wanita itu yang sekaligus menjadi ibu bagi anak-anaknya. Dialah istri  yang mendampinginya saat lapang dan sempit, sulit dan senang. Dialah penolong yang baik dalam dakwahnya, sampai akhirnya Al Banna menyongsong kematian menemui Rabb-nya sebagai seorang yang dizalimi. (Al Ikhwan Al Muslimun, Ahdast Shana’at Tariikh, Mahmud Abdul Halim, hal 68)
       
Diskusi Calon Mertua dan Calon Mantu
        Anak Al Banna, yang bernama Tsana, menyebutkan sejumlah sikap yang diinginkan neneknya (ibunda Al Banna) dalam memilihkan istri untuk Al Banna. Dikatakannya, “Nenekku rahimahullah pergi ke sejumlah rumah dari tokoh-tokoh Ismailiyah. Ketika itu nenek simpatik dengan ibuku untuk dijodohkan dengan ayahku, karena nenek melihat meskipun kondisi keluarga ibuku sangat sederhana tapi mereka mandiri melakukan kebutuhannya bahkan mereka juga memasak untuk para pekerja yang ada. Nenek lalu merasakan bahwa rumah keluarga ibuku adalah rumah orang yang dermawan dan baik hati. Meskipun belum ada kesempatan untuk belajar, tetapi kakekku mendatangkan seorang syaikh yang membacakan Al Qur’an setiap hari di rumah. Lalu suatu ketika, setelah zuhur, syaikh mengaji ini mengajarkan Al Qur’an untuk penghuni rumah yang perempuan dan mengajarkan fiqh. Karena itulah ibuku bisa dikatakan orang yang cukup pandai tentang masalah fiqih. Orang tuaku telah memilihkan istri yang baik dari tempat yang baik.....”
        Selanjutnya Tsana juga bertutur tentang kecintaan kakeknya kepada ibundanya dan bagaimana perhatian yang diberikan kepada kasih sayangnya dengan ayahnya (Hasan Al Banna). Tsana mengatakan: ”Kakek dari ibuku sangat menyukai ayahku. Ia kerap berdiskusi dalam berbagai masalah sampai-sampai ketika ibuku ada yang ingin meminangnya selain ayahu ketika itu, ia datang kepada kakekku dan memintanya untuk menemani pula puterinya ke bioskop, kakekku bertanya kepada ayahku tentang hukumnya menonton film di bioskop. Ayahku menerangkan bahwa itu haram. Setelah kakek mengetahui orang tersebut meminta sesuatu yang dilarang maka kakek meminta orang itu pergi dan mengatakan “Aku tidak punya puteri untuk dinikahkan olehmu”

“Ya Ummu Wafa, Istana Kita menanti di Surga”
        Kondisi keluarga jelas sangat menjamin perkembangan jiwa anak secara baik. Kondisi keluarga yang penuh kasih sayang, penuh perhatian dan kepedulian akan menyebabkan anggota keluarga saling hormat dan saling menghargai. Di antara faktor penting untuk melakukan pemeliharaan yang benar adalah, adanya lingkungan yang mendukung untuk tujuan pendidikan itu sendiri. Lingkungan akan membantu sang anak lebih mudah memiliki perilaku yang baik. Perilaku Imam Hasan Al Banna di rumah, interaksinya dengan istrinya, hubungannya dengan anak-anaknya, itu semua mewakili lingkungan yang baik dan subur untuk menghidupkan generasi yang shalih.
QS Al A’raf : 58
Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”

        Tsana, puteri Al Banna, juga mengatakan, “Subhanallah, setelah aku berkeluarga, maka ayahkulah yang menjadi contoh sangat baik dalam hal pengorbanan. Karenanya aku sangat yakin sekali dengan dakwah yang disampaikan ayah. Ayah tidak perlu banyak mengatakan apapun, tapi kecintaanku kepada dakwahnya begitu kuat sampai setelah ayah wafat, para Ikhwan yang dibebaskan dari penjara datang kepada keluarga kami mengucapkan salam. Umumnya mereka semua datang kepada kami dengan selalu membawa makanan. Bahkan meskipun makanan itu berupa makanan yang belum jadi seperti daging mentah, dan itu sangat membahagiakan ibu.”
        Tsana melanjutkan: “Ketika menginjakkan kaki ke Kairo, mereka menyewa sebuah kantor untuk digunakan sebagai kantor pusat. Ketika itu, Ibu mengambil hampir semua perabotan rumah untuk digunakan di kantor pusat. Ketika ayah membagun sekretariat Ikhwanul Muslimun, beliau malah meminta ayah membawa sebagian besar perabot rumah agar sekretariat menjadi lebih hidup. Ayahpun memboyong karpet, gorden, meja-meja dan masih banyak lagi perabotan lain ke sekretriat dan ibu justru sangat senang. Di rumah kami sendiri, tak ada ruang kecuali sedikit sekali, termasuk sajadah dan gorden yang sebenarnya dibuat oleh Ibu sendiri. Kami hanya menggunakan sedikit gorden dan untuk menutupi kamar, kami menggunakan apa saja bahan yang bisa digunakan. Dengan pengorbanan itu, ibu tampak tidak merasakan apa-apa dan sepertinya ia tidak memberikan apapun untuk dakwah ini dari perabotan rumahnya.
Bersambung...

0 Response to "Cinta Di Rumah Hasan Al Banna (Bagian 2)"

Posting Komentar

Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...