Ummul Mukminin, Ummu Abdillah,
‘Aisyaah ra berkata, Rasulullah SAW. Telah bersabda : “Barang siapa
membuat-buat hal baru dalam perkara ibadah yang tidak ada dasar hukumnya maka
ia ditolak.”
(HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam hadits riwayat Muslim,
Rasulullah bersabda : “Barang siapa melakukan amalan yang tidak didasari
perintah kami, maka ia ditolak.”
Urgensi Hadits
Imam an-Nawawiy rahimahullah
berkata, "Hadits ini layak sekali untuk diingat dan dijadikan sebagai
saksi/bukti terhadap kebatilan semua perbuatan munkar."
Beberapa Arahan Hadits
Hadits ini mengandung makna bahwa
Dienullah adalah dien yang sempurna, tidak menerima penambahan ataupun
pengurangan. Dan inilah yang dapat disimpulkan dari firman-Nya (artinya),
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agamamu." (Q.s.,al-Mâ`idah:3). Oleh karena itu, wajib bagi seorang Muslim
untuk mengamalkan wahyu yang berasal dari Allah melalui Rasul-Nya, tanpa
menambah atau menguranginya.
Barangsiapa yang menambahkan
sesuatu ke dalam Dienullah padahal bukan berasal darinya, maka ia tidak
diterima di sisi Allah dan tertolak atas pelakunya. Barangsiapa, misalnya, yang
beribadah kepada Allah Ta'ala dengan melakukan shalat yang tidak
disyari'atkan-Nya, maka ia tidak akan diterima, pelakunya berdosa dan dijuluki
sebagai Mubtadi' (pelaku bid'ah).
Seorang Muslim wajib
menyuriteladani Rasulullah di dalam semua perbuatan, prilaku dan tindakannya.
Hukum asal di dalam semua praktik
ibadah itu adalah bersifat Tawqîfiyyah. Artinya, bahwa pentasyri'an
(penggodokan syari'at) hanya sebatas apa yang dibawa oleh Muhammad Shallallâhu
'alaihi Wa Sallam, disertai penyerahan diri atas hal itu dan meyakini amalan
ini sebagai pembawa kebaikan yang mutlak, baik untuk kehidupan di dunia maupun
di akhirat. Dalam hal ini, Allah Ta'ala berfirman (artinya):
"Maka demi Rabbmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya." (Q.s.,an-Nisâ`:65)
Suatu ibadah tidak akan diterima
kecuali dengan dua syarat: Pertama, Menjadikannya ikhlash semata-mata karena
Allah Ta'ala. Kedua, Hendaknya ia sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sebagaimana yang disebutkan di dalam
hadits dalam kajian ini.
Siapa saja yang telah keluar dari
manhaj Ittibâ' (mengikuti) Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam maka
berarti dia telah masuk ke dalam manhaj Ibtidâ' (berbuat bid'ah) dan Ihdâts
(mengada-ada) di dalam agama. Padahal Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam
telah bersabda (artinya), "Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah
Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallâhu
'alaihi Wa Sallam sementara seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang
diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan itu adalah bid'ah dan setiap
bid'ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu berada di neraka."
(HR.an-Nasa`iy dari hadits yang diriwayatkan Jabir bin 'Abdullah)
Diantara implikasi dari perbuatan Bid'ah adalah:
Menuduh Rasullah Shallallâhu
'alaihi Wa Sallam telah menyembunyikan sesuatu terhadap umat manusia dengan
tidak menyampaikannya kepada mereka.
Siapa saja yang berjalan di atas
rel manhaj Ibtidâ' , berarti dia telah menganggap baik manhaj ini dan telah
menjadi orang yang menambahi sesuatu yang tidak diizinkan Allah di dalam
dien-Nya.
Pelaku bid'ah selalu berupaya
keras di dalam mengamalkan kebid'ahannya dan hal ini semua akan hilang percuma
bahkan akan menjadi dosa yang akan dipikulnya kelak.
sumber : Silsilah Manâhij Dawrât
al-'Ulûm asy-Syar'iyyah
-al-Hadîts- Fi`ah an-Nâsyi`ah-
karya Prof.Dr.Fâlih bin Muhammad ash-Shaghîr, et.ali., h.56-58
0 Response to "Amal Ibadah yang Tertolak"
Posting Komentar
Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"