Menuju Banten Bertaqwa dan Sejahtera


BANTEN akhir-akhir ini mendapat sorotan yang cukup tajam dari berbagai media, baik lokal maupun nasional. Penahanan Gubernur Provinsi Banten karena disangka kasus dugaan korupsi oleh KPK membuat provinsi yang berada di ujung barat pulau Jawa ini sempat terguncang. Kasus hukum yang mau tak mau kental dengan nuansa politik ini, menimbulkan suasana saling curiga di antara kalangan masyarakat Banten, bahkan ada yang saling memusuhi. Meski begitu, kita tetap berharap bahwa kondisi semacam ini tidak berkembang menjadi situasi saling mendendam di antara kelompok masyarakat itu.

Sebagai kasus hukum, hendaknya masalah hukum yang dihadapi sang gubernur diselesaikan secara hukum. Begitu pula dengan masalah politik pemerintahan, semoga dapat diselesaikan dengan baik. Dengan harapan, keduanya (politik dan hukum) berjalan dalam kerangka menegakkan kebenaran dan keadilan. Dan yang terpenting lagi, muara dari semua penyelesaian itu adalah untuk mewujudkan masyarakat Banten yang sejahtera.

Sejak dulu ulama dan umara (pemerintah) di Banten bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Satu sama lain saling memberikan kontribusi demi kemajuan masyarakat dan peradaban Banten.

Tentu saja nama Syekh Nawawi al-Bantani tidak asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Bahkan ulama besar kelahiran Banten ini kerap disejajarkan dengan ulama klasik mazhab Syafi’i, Imam Nawawi. Karya-karya besar Syekh Nawawi hingga kini banyak dikaji, tidak saja oleh pesantren-pesantren di sekitar Banten tetapi juga oleh banyak pesantren di Nusantara.

Syekh Nawawi tidak saja terkenal sebagai seorang ulama yang menulis banyak karya, ia juga dikenal sebagai guru dari sejumlah tokoh kyai besar yang berperan dalam pendirian negara Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan tokoh pejuang kemerdekaan bangsa ini, memposisikan Syekh Nawawi sebagai guru utamanya.

Syekh Nawawi berasal dari kalangan istana Kesultanan Banten. Beliau masih mempunyai jalur nasab ke Sunan Gunung Jati. Ini menunjukkan bahwa antara istana (pemerintah) dan ulama mempunyai hubungan yang sangat erat. Tidak mungkin lahir seorang ulama besar dari kalangan istana jika pihak istana sendiri tidak mendukung kelahiran tokoh ulama itu dengan mendukung pengembangan pendidikan agama Islam.

Bahkan, dalam sejarahnya ulama-lah yang sangat menentukan berdirinya Kesultanan Banten. Sebagaimana kita ketahui, Kesultanan Banten berdiri atas motif penyebaran agama, dalam hal ini Islam, bersamaan dengan penolakan terhadap kehadiran penjajah Portugis. Pendirinya, Syarif Hidayatullah merupakan seorang ulama, kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Sultan Hasanuddin yang juga merupakan pendakwah yang sukses.

Invasi yang dilakukan Kesultanan Banten ke Lampung, Palembang, dan Pajajaran semuanya bermotif penyebaran agama atau dakwah, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya motif lain seperti ekonomi, kekuasaan, dan sebagainya.

Di dalam istana Kesultanan Banten dikenal adanya seorang Kadhi atau Hakim Agung, yaitu seorang ulama yang mempunyai kedudukan menentukan dalam setiap keputusan penting di pemerintahan. Seorang Kadhi selalu dimintai pendapat dalam setiap perjanjian yang dilakukan oleh sultan. Bahkan dalam keadaan genting, seorang Kadhi bisa menjadi pemimpin angkatan perang di samping juga sebagai pemimpin agama.

Iman, Takwa dan Kesejahteraan

Banten sekarang memang bukan Banten seperti masa lalu, yang dipimpin dengan sistem kesultanan dan kental dengan sistem keagamaan. Banten juga bukan lagi pusat perdagangan bagi negara-negara di dunia yang cukup berpengaruh sebagaimana pernah terjadi beberapa abad silam. Banten saat ini adalah salah satu provinsi baru dengan sistem demokratis dengan penduduk lebih dari 10,5 juta jiwa.

Kita tidak boleh terlena dengan kejayaan masa lalu, karena Banten kini tidak lagi seperti yang digambarkan sejarah. Namun, sejarah masa lalu hendaknya bisa menjadi refleksi pemikiran dan sikap kita untuk membangun Banten di masa depan. Faktanya pula, bahwa masyarakat Banten tetap menjadi masyarakat religius sebagaimana tradisi yang telah diwariskan sejarah masa lalu. Penokohan ulama, tradisi keagamaan dan keilmuan yang kuat, masih terus berlangsung di Banten hingga sekarang.

Setelah 13 tahun Banten menjadi provinsi, memang sejumlah kekurangan masih terjadi di sana-sini. Pendidikan, pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat di sejumlah wilayah dinilai masih rendah. Fenomena tingkat kesejahteraan yang rendah sebetulnya terjadi di provinsi-provinsi lain hasil pemekaran.

Akan tetapi, kesejahteraan masyarakat, apa pun kondisinya adalah sebuah keniscayaan yang mestinya diperjuangkan oleh siapa pun tak terkecuali pemerintah Banten saat ini. Apalagi Banten pernah mencapai masa keemasan dan kemakmuran di sepanjang sejarahnya.

Untuk itu, seluruh komponen masyarakat Banten seharusnya kembali melihat kepada akar sejarah. Yakni sebagai masyarakat religius yang dekat dengan agama, dekat dengan Allah, memenuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangannya. Kesadaran ini seharusnya berlaku bagi semua komponen, tidak saja masyarakat tetapi juga unsur-unsur lain seperti pemerintahan, anggota dewan, pendidik, pemimpin kelompok, tokoh masyarakat dan sebagainya, tentu di semua lapisan. Allah berfirman,

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat) Kami itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya,” (QS. 7:96).

Iman dan takwa sebagai kata yang punya makna sangat dalam mestinya tidak berhenti sebagai slogan saja, tetapi harus dimaknai dan diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat Banten sehari-hari.

Iman, yaitu percaya dengan hati, perkataan, dan tindakan terhadap adanya Allah. Konsekuensi keimanan adalah takwa, yakni menjalankan segala yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Orang yang mengaku beriman namun perbuatannya tidak mencerminkan orang yang taat kepada Allah, maka imannya palsu belaka. Imannya hanya kamuflase agar terlihat baik di mata orang, sementara secara sembunyi-sembunyi ia berbuat zalim kepada Allah. Orang seperti ini sama saja tidak percaya bahwa Allah hadir di setiap kesempatan, saat terang maupun gelap, terbuka maupun tersembunyi.

Jika keimanan dan ketakwaan telah menjadi sikap setiap individu di Banten, baik di pemerintahan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan sebagainya niscaya berbagai penyimpangan yang merugikan masyarakat tidak akan terjadi lagi. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat perlahan-lahan dapat diwujudkan.

Jika semua orang beriman dan bertakwa kepada Allah, tanpa terkecuali polisi, jaksa, atau KPK sekalipun, para pejabat maupun masyarakat di Banten tidak bakal melakukan penyimpangan dan penyelewengan yang merugikan. Jika penyelewengan atau penyimpangan dari oknum di semua lapisan dapat berkurang, maka anggaran yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat tentu tidak bakalan bocor ke mana-mana atau justru masuk ke kantong orang tertentu.

Intinya, untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat Banten ke depan, kita harus kembali kepada nilai-nilai religiusitas kita, dengan memperkuat kembali nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kita di semua lapisan masyarakat.

“Gegeran” di Banten yang terjadi akhir-akhir ini seharusnya menjadi momentum untuk mengembalikan Banten kepada kejayaannya, dengan landasan keimanan dan ketakwaan. Tanpa itu, maka kata “Iman dan Takwa” hanya akan sekadar menjadi slogan yang banyak terpampang di jalan-jalan, mobile-branding, kantor pemerintahan, sekolah atau perguruan tinggi, tanpa memiliki makna dan pengaruh terhadap perilaku masyarakatnya, naûdzu billah. Kalau sudah begitu, ke depan tentu kita tidak bisa berharap banyak terkait kesejahteraan rakyat Banten. (*)

Dr. H. Wawan Wahyuddin, M.Pd, akademisi IAIN SMH Banten




http://www.radarbanten.com/read/berita/150/16505/Menuju-Banten-Beriman.html

0 Response to "Menuju Banten Bertaqwa dan Sejahtera"

Posting Komentar

Terimakasih Atas Kunjungan Anda "PKS Petiir--Dari Pelosok Banten Bekerja Membangun Indonesia Tercinta"

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...